Friday, July 8, 2011

I Nyoman Masriadi, Ikon Baru Senirupa Kontemporer Indonesia

Nyoman Masriadi is only artist with spectacular achievement now. The achievement that can be observed clearly is the price of his works which are so high, higher than Indonesian maestro artists’ works prices. His work with title “The Man From Bantul – the Final Round”, for example, was sold by the Sotheby Auctioneer, Hong Kong, in October 2008, with price HKD 7,8 millions or about 9 billion rupiahs.

Raden Saleh, Affandi, S Sudjojono, tak terbantah sebagai para maestro senirupa Indonesia yang telah membawa nama harum bagi negeri kelahirannya di forum dunia. Sampai kini karya-karya mereka masih dicari para kolektor di dalam dan luar negeri dengan harga selangit.

Namun dunia senirupa Indonesia tidak hanya punya para maestro yang kini sudah almarhum. Regenerasi terus berlangsung. Sesudah Raden Saleh, Affandi, dan S Sudjojono, ada generasi yang lebih muda dengan reputasi internasional antara lain Heri Dono, Agus Suwage, Entang Wiharso, Eddie Hara yang kini berusia sekitar lima puluhan tahun.

Belakangan muncul adik-adik mereka yang jauh lebih muda dengan karya-karya yang mulai dikenal para pecinta senirupa internasional. Mereka antara lain I Nyoman Masriadi, Jompet Kuswidananto, Wedhar Riyadi yang berusia antara 35 hingga 40 tahunan.

Prestasi cukup spektakuler diraih I Nyoman Masriadi. Prestasi yang mudah dilihat adalah harga karya-karyanya yang belakangan ini melambung melampuai harga karya-karya para maestro di tanah air. Pada bulan Oktober 2008, karyanya berjudul “The Man From Bantul – the Final Round” terjual di Balai Lelang Sotheby, Hongkong, dengan harga HKD 7,8 juta atau sekitar Rp 9 milyar. Sebelumnya, di Balai Lelang Christie Hongkong karyanya berjudul “Used to being Stripped” laku dengan harga sekitar Rp 5 milyar. Kini harga lukisan Masriadi rata-rata dua hingga tiga milyar rupiah di tingkat galeri.

Sebagian kalangan mungkin mengatakan, apresiasi yang tinggi di pasar tidak serta merta menunjukkan capaian tingkat estetika sebuah karya seni. Tetapi akan terlalu naif menafikan apresiasi pasar yang sangat tinggi dan menganggap pasar semata-mata berurusan dengan bisnis mencari untung. Bagaimanapun pasar juga menetapkan standar kualitas estetik pada suatu karya seni.

Capaian estetik karya-karya Masriadi mungkin belum bisa disejajarkan dengan karya-karya Affandi misalnya, namun sejumlah pengamat menilai karya-karya pelukis kelahiran Gianyar, Bali, tahun 1973 ini, cukup istimewa. Kekuatan karya-karya Masriadi terutama bukan pada aspek teknis, melainkan pada pilihan-pilihan tema yang sering melawan arus utama senilukis pada jamannya. Ketika kebanyakan artis di tanah air beramai-ramai mengusung tema-tema politik sesuai dengan situasi dan kondisi sosial politik nasional, Masriadi bermain-main dengan tema sederhana dengan pendekatan karikatural dan komikal. Karya-karya Masriadi sangat dipengaruhi oleh budaya populer dalam televisi dan internet. Online game adalah salah satu kegemarannya. Ia juga tidak mengikuti kecenderungan umum yaitu menggunakan gaya abstrak-ekspresionisme. Masriadi lebih memilih gaya kubisme.

Masriadi juga tidak suka dengan cara berpikir rumit yang sangat teoritik dalam melukis. Ia lebih suka berpikir sederhana. Pengamat senirupa Dwi Marianto mengungkapkan, representasi (artistik) Masriadi ditandai oleh kesederhanaan, dengan ide-ide yang dikembangkan dari keinginan menghadirkan peristiwa-peristiwa yang membuatnya tertawa. Ia mengadopsi ekspresi visual dan guyonan verbal dari komik strip, online game, dan perbincangan sehari-hari dan menggunakan tipografi suratkabar untuk membuat teks. Ini semua menguatkan aliran humor untuk memprovokasi pemikiran atau perenungan.

Masriadi yang sempat mengenyam pendidikan di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, 1993-1998, telah menggelar pameran di berbagai kota di tanah air dan sejumlah negara seperti Singapura, Taiwan, Australia, Nederland dan Amerika Serikat. Masriadi kini bisa dikatakan telah menjadi ikon baru senirupa kontemporer Indonesia.

English Version: I Nyoman Masriadi, New Icon of Indonesian Contemporary Art

Lihat Profil Pelukis lainnya: Heri Dono, S Sudjojono

Sunday, July 3, 2011

Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas 2010


Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas 2010

Sejak digelar pertamakali pada tahun 2003, Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas menjadi agenda seni tahunan surat kabar terbesar di Indonesia itu. Dengan perkecualian pada tahun 2004, di mana pameran gagal diselenggarakan, Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas hingga kini telah berlangsung delapan kali. Pada pameran kali ini ditampilkan 50 karya senirupa yang selama ini menjadi ilustrasi cerpen-cerpen pada Kompas Minggu sepanjang tahun 2010.

Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, karya seni yang ditampilkan kali ini tidak hanya berupa lukisan, namun juga fotografi, patung, instalasi, bahkan video.

Beberapa artis yang karyanya dipajang di sini antara lain Ade Darmawan, Agus Purnomo, Agus Budiyanto, Angki Purbandono, Bob Yudhita Agung, Bunga Jeruk, Danarto, Dewa Ardana, Eddi Prabandono, Ipong Purnama Sidhi, Laksmi Shitaresmi, dan Ong Hari Wahyu. Pameran berlangsung di Bentara Budaya Jakart, dari tanggal 28 Juni-5 Juli 2011. Setelah itu, pameran juga akan dilangsungkan di Bentara Budaya Bali, Balai Soedjatmoko Solo, dan Bentara Budaya Jogjakarta.

Pameran Colored Conersance

Pameran Colored Conersance akan digelar di Galeri Nasional Indonesia, Jalan Merdeka Timur No 14, Jakarta, tanggal 2 – 10 Juli 2011. Pameran menghadirkan sejumlah artis dari Indonesia dan China yaitu Dadan Setiawan, Edo Pilu, Ferry Widiantoro, Agung Fitriana, Chenng Chunmu, Song Yonghua, Qian Gang, Xie Xiaobing, dan Zha Jin Xi.

Pameran Tunggal Seni Grafis Winarso Taufik

Winarso Taufik, peraih penghargaan pertama pada Trienal Seni Grafis Indonesia tahun 2009, akan menggelar karya-karyanya di Bentara Budaya Jakarta, 15 – 23 Juli 2011. Pameran juga akan diusung ke Bentara Budaya Jogjakarta, Bali dan Balai Soedjatmoko Solo. Dengan kurator Hendro Wiyanto, pameran akan menampilkan 30 karya cukil kayu WinarsoTaufik. Pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, 7 November 1977, dan lulusan ISI Jogjakarta ini, merupakan salah satu seniman muda yang menggeluti seni cukil kayu. Selain Winarso, seniman muda yang konsisten dengan teknik cukil kayu yaitu Irwanto Lentho, yang beberapa waktu lalu juga tampil di Bentara Budaya Jakarta.

Friday, June 24, 2011

Seni Kontemporer Indonesia: Realitas dan Fantasi


It is really that Indonesian artists have great potency to coloring the world of fine art in international forum. With various culture backgrounds Indonesian artists can produce unique artworks that compromise modern contemporary and traditional arts.

Lagi, karya-karya seniman Indonesia akan diusung ke luar negeri. Kali ini melalui pameran bertajuk Indonesian Eye: Fantasies & Realities, karya-karya dari 18 seniman Indonesia akan digelar di Saatchi Gallery, sebuah galeri yang cukup dikenal dan bergengsi di London, Inggris, 27 Agustus – 9 Oktober 2011. Sebelumnya, empatpuluh satu karya seni berupa lukisan, patung, dan instalasi, dan fotografi tersebut dipajang di Ciputra Artpreneur Center, Jakarta, 9 Juni – 10 Juli 2011.
Para seniman yang karya-karyanya terpilih dalam pameran ini antara lain Heri Dono, Eddie Hara, Eddo Pillu, Haris Purnomo, Agung Mangu Putra, Nindityo Adipurnomo dan Mella Jaarsma. Selain itu juga terpilih karya-karya dari sejumlah artis muda seperti Jompet Kuswidananto, Samsul Arifin, dan Wedhar Riyadi. Di samping lukisan, patung dan instalasi, pameran juag menghadirkan karya fotografi dari Angki Purbandono.
Pemrakarsa pameran, David Cicilitira dari Saatchi Gallery, mengungkapkan, tujuan Indonesian Eye adalah untuk mengenalkan karya-karya artis Indonesia di dunia internasional. Karena itu, selain karya para seniman senior Indonesian Eye juga menampilkan karya-karya para seniman muda yang mempunyai potensi besar untuk berkembang. Indonesian Eye bisa dikatakan sebagai kelanjutan pameran serupa, Korean Eye, yang juga digelar Saatchi Gallery dan sukses memperkenalkan karya-karya artis Korea ke dunia internasional.
Seniman Indonesia dinilai memiliki potensi besar untuk mewarnai dunia seni kontemporer dunia. Dengan latar kebudayaan yang sangat beragam berbasis seni tradisi karya-karya yang diusung dalam pameran kali ini cukup unik. Seperti karya Heri Dono misalnya, mencoba menggambarkan kondisi sosial politik kontemporer dengan memanfaatkan figur-figur dan elemen tradisi khususnya seni wayang. Lihat misalnya karyanya, “Playing Chess” atau “Looking for a Fake President”. Sementara, karya instalasi Jompet Kuswidananto, “War of Java, Do You Remember?” mengingatkan kita akan sejarah kolonialisme di negeri ini. Dibaca dalam konteks masa kini karya Jompet masih relevan mengingat kondisi sosial ekonomi Indonesia yang sesungguhnya masih terjajah dalam hubungan dengan negara-negara maju.
Karya Wedhar Riyadi, “New Neighbour From Outerspace”, mengambarkan dua bocah, yang satu memiliki kepala dan wajah mirip gambaran mahluk angkasa luar, bertukar mainan. Sebuah khayalan menarik yang menurut Wedhar banyak diilhami dunia film di televisi.
Secara umum, sekitar empat puluh karya yang dihadirkan dalam Indonesian Eye menggambarkan fantasi para artis tentang realitas kekinian Indonesia.

English version: Indonesian Contemporary Art: Fantasies and Realities

Monday, June 6, 2011

Dunia Dongeng Irwanto Lentho




Oleh Winarto

With term “The Engraver” Irwanto Lentho wants make differences from term “The Carver”, “The Sculptor” and “The Painter”.

Menyimak karya-karya Irwanto Lentho pertamakali kita akan merasa terhenyak melihat ribuan garis-garis tipis yang melatarbelakangi atau juga menjadi bagian pembentuk figur-figur seperti manusia, gajah, kuda, burung, kereta yang menjadi subyek lukisannya. Pertanyaan yang muncul seketika yaitu, bagaimana sang artis mampu membuat ribuan garis-garis tipis seperti itu. Untuk itu, tentu dibutuhkan ketelatenan luar biasa.

Kekaguman kita akan semakin besar ketika kita mengetahui, bahwa ribuan garis-garis tipis itu bukan hasil sapuan kuas, melainkan hasil guratan pada kayu (hardboard) yang kemudian dikopi-cetak di atas kanvas. Tak bisa dipungkiri, sekitar duapuluh karyanya yang dipajang di Bentara Budaya, Jakarta, 26 Mei – 4 Juni 2011, membuktikan kemampuan paripurna Irwan Lentho dalam penguasaan teknik seni cukil kayu. Tidak salah pula bila ia memilih tajuk “Sang Pencukil” untuk pameran tunggalnya kali ini.

Namun pilihan istilah “Sang Pencukil” bukan hanya merujuk pada tataran kemampuan Irwanto Lentho sebagai seniman lukisan cukil kayu. Dalam catatan kuratorialnya, Aminudin TH Siregar, mengungkapkan, pilihan istilah “Sang Pencukil” menegasikan posisi istilah tersebut dalam wacana sosial. Dengan istilah “Sang Pencukil” (The Engraver) Irwanto ingin membedakannya dari istilah-istilah serupa seperti “Pemahat” (Carver) , “Pematung” (Sculptor) atau “Pelukis” (Painter). Istilah ini menurut Aminudin, merupakan tawaran menarik untuk memperkaya perbendaharaan ungkapan dalam praktik senirupa. Sehingga istilah “Sang Pencukil” di masa mendatang bisa diterapkan bagi mereka yang menggeluti seni grafis cukil kayu.

Di luar masalah teknis, kekuatan karya-karya Irwanto Lentho terlihat pada ide-idenya. Lukisan-lukisan grafis Irwanto menyuguhkan tema-tema yang berkesan ringan, namun sebenarnya cukup memancing kita untuk berkontemplasi. Mencermati karya-karyanya kita seperti memasuki dunia dongeng. Di situ kita bisa bertemu aneka binatang dan tokoh-tokoh manusia yang tampak akrab, bersahabat dan bisa berkomunikasi dengan aneka satwa tersebut.

Seperti membaca cerita dongeng, kita bisa dengan mudah menangkap alur ceritanya, karena cara penuturan yang sederhana dan ringan. Namun, cerita dongeng umumnya sarat akan makna, menggamit pesan-pesan moral dan kebijaksanaan. Begitupun karya-karya Irwanto yang secara sederhana dan ringan melukiskan narasinya, namun sebenarnya sarat makna.

Lihat misalnya, karyanya “Berlomba Untuk Pulang”. Karya dengan ukuran relatif besar (200 cm x 122 cm) ini menggambarkan tiga orang gadis menunggang zebra, berlomba saling kejar dan mendahului. Namun kaki-kaki zebra tampak bertumpu pada roda-roda bergerigi. Mereka “terbang” di atas gedung-gedung. Gambaran ini mengingatkan kita pada realitas kehidupan modern yang serba ingin cepat, saling mendahului, saling mengatasi. Ketiga penunggang zebra yang semuanya perempuan bisa juga dikaitkan dengan isyu-isyu gender.

Karyanya yang lain, “Memaksakan Keinginan”, melukiskan seseorang mengenakan perlengkapan mirip pilot pesawat, sedang menunggang seekor burung. Sang burung kelihatan sangat berat, dengan perutnya yang luar biasa besar dibanding sayapnya yang pendek. Sementara paruhnya menjepit seekor ikan emas. Beberapa helai bulunya rontok. Sang “pilot” tampak membawa “kitiran” atau baling-baling dari kertas. Membaca karya ini kita dibawa ke permenungan tentang ambisi dan keserakahan yang tak jarang menghinggapi sebagian dari kita, yang selalu menginginkan sesuatu melebihi kemampuan kita untuk mewujudkannya.

Sementara dalam karyanya “Belajar Kasih Sayang” Irwanto mengajak kita meneladani sikap melindungi dan mengasihi satwa kanguru dengan kantung di perutnya.

Irwanto Lentho lahir di Sukharjo, Jawa Tengah, 4 April 1979. Sejumlah penghargaan telah diraihnya antara lain Finalis Philip Moris Art Awards 2001, Finalis Trienal Seni Grafis II Indonesia 2006, Karya Terbaik ke-2 Trienal Seni Grafis Indonesia III 2009. Puluhan pameran karya-karyanya telah digelar di berbagai kota di Indonesia dan di luar negeri.

Pameran tunggal “Sang Pencukil” menurut jadwal juga akan diusung di Bentara Budaya Bali, Bentara Budaya Jogja, dan Balai Sujatmoko Solo, dalam bulan Juli dan Agustus mendatang.

Saturday, May 28, 2011

Pameran Cukil Kayu Irwanto Lentho


Selama sepuluh hari, dari tanggal 26 Mei hingga 4 Juni 2011, perupa Irwanto Lentho menggelar karya-karyanya berupa seni grafis cukil kayu di Bentara Budaya Jakarta. Seni grafis cukil kayu (xylography) adalah teknis grafis dengan memanfaatkan kayu yang dipahat sebagai sarana untuk menghasilkan gambar di atas kanvas. Semula gambar dibuat di atas kayu – sekarang lebih banyak digunakan hardbord sebagai ganti kayu – kemudian dipahat. Bagian yang akan dicetak tetap sejajar dengan permukaan kayu/papan, sedangkan yang tidak akan dimunculkan dalam cetakan dicukil. Pencetakan di atas kanvas dilakukan dengan teknik pointilis dan stensil.

Irwanto Lentho lahir di Sukharjo, Jawa Tengah, 4 April 1979. Sejumlah penghargaan telah diraihnya antara lain Finalis Philip Moris Art Awards 2001, Finalis Trienal Seni Grafis II Indonesia 2006, Karya Terbaik ke-2 Trienal Seni Grafis Indonesia III 2009. Dalam pameran kali ini, bertindak sebagai kurator yakni Aminuddin Th Siregar.


Friday, May 27, 2011

Heri Dono, Mengangkat Tradisi dalam Seni Kontemporer

Siapa lagi seniman lukis besar Indonesia yang dikenal luas oleh dunia internasional setelah Raden Saleh, Affandi dan Sudjojono? Ada sejumlah nama antara lain Heri Dono, Agus Suwage, Dede Eri Supria, Tisna Sanjaya dan Eddie Hara. Mereka bisa dikatakan satu angkatan yang mulai menunjukkan kekuatan karyanya pada tahun-tahun 1980-an. Mereka juga menggeluti seni kontemporer dengan kekhasan masing-masing baik dalam penggunaan medium ekspresi dan pendekatan filosofis dalam karya-karya mereka. Heri Dono adalah yang termuda di antara mereka, namun dengan catatan prestasi sangat mengesankan.

Heri Dono lahir di Jakarta, 1960, memperoleh pendidikan seni lukis di Yogyakarta. Sejak kuliah dan lulus dari ISI Yogya ia memilih menetap di kota kebudayaan itu.

Jejak kariernya di dunia internasional dimulai pada tahun 1990-1991 ketika mengikuti International Artist Exchange Program di Basel, Swiss. Ketika itu ia sempat menggelar pameran tunggal di Museum Der Kulturen, Basel, dengan tajuk “Unknown Dimensions”. Sejak itu Heri yang menyandang berbagai penghargaan seni ini laris diundang mengikuti pameran di berbagai negara.

Hingga sekarang Heri telah mengikuti sedikitnya 50 acara pesta seni bienale/trienal (biennials/triennials) di berbagai negara. Di antaranya Gwangju Biennale, Gwangju, South Korea (2006), Bienale Internazionale Dell’ Arte Contemporania di Fortezza da Basso, Firenze, Italia (2005), Zone of Urgency, Venice Biennieal, Italia (2003), Asia Pasific Triennial, Queensland Art Gallery, Brisbane, Australia (2002) Yokohama Triennial, Yokohama, Japan (2001).

Berbagai penghargaan nasional dan internasional yang diperolehnya semakin mengukuhkan pengakuan dunia terhadap kiprah Heri Dono dalam jagad senirupa kontemporer. Beberapa penghargaan itu di antaranya Academic Art Awards, Professional Artist, Program A-2, FSR ISI Yogyakarta dan Jogja Gallerry, Yogyakarta, Indonesia, Second Annual Enku Grand Awards, Gifu Perfectural Government, Japan, Unesco Prize for the International Art Biennal, Shanghai, China, dan Prince Claus Award, in Recognition of Exeptional Initiatives and Activities in the Filed of Art and Development, The Netherlands.

Heri Dono dikenal dengan karya-karyanya yang berbasis seni tradisi, khususnya seni wayang kulit yang sangat populer dalam masyarakat Jawa. Wayang kulit adalah seni pertunjukan ‘bayang-bayang’ dengan para tokohnya terbuat dari kulit binatang (kerbau). Dalam pentas wayang kulit para tokoh tersebut diproyeksikan ke sebuah layar berupa kain panjang sehingga membentuk bayang-bayang. Kata ‘wayang’ sendiri berarti bayangan. Pentas wayang kulit memadukan seni teater, musik, nyanyian, dan ceritera yang biasanya diambil dari epos Mahabarata dan Ramayana.

Sebagai perupa Heri Dono dalam mengekspresikan ide-idenya banyak mengeksplorasi rupa atau bentuk dan karakter dari tokoh-tokoh dunia peawayangan. Khususnya Heri lebih suka menggambarkan sosok panakawan yang dalam jagat pewayangan mewakili rakyat jelata yang hidup dalam kesederhanaan, senantiasa mengikuti pihak yang benar, dan kritis terhadap perilaku penguasa. Agaknya Heri ingin mengatakan bahwa peran seorang seniman tak ubahnya peran panakawan dalam dunia pewayangan. Yakni menghibur sekaligus menawarkan kritik terhadap lingkungan sekitarnya dan kekuasaan.

Karya-karya Heri Dono baik berupa lukisan, instalasi, maupun seni pertunjukan senantiasa mengandung kritik sosial, mencakup beragam persoalan dalam spektrum sangat luas, mulai dari masalah sosial, politik, kebudayaan, lingkungan dan perkembangan teknologi. Masalah-masalah itu ditampilkan secara karikatural, satir, dan parodikal.

Unsur humor merupakan ciri khas karya-karya Heri Dono. Dalam wawancara dengan seorang wartawan, Larry Polansky, usai menggelar karya instalasinya di kota kecil Harima, Jepang, Heri menjelaskan konsep humor dalam setiap karyanya. Menurutnya, seperti dalam seni teater tradisional Jawa ‘Ketoprak’, atau pentas lawak Srimulat, dan wayang, kehadiran pembantu yang lucu seperti panakawan sangat diperlukan. Keberadaan mereka penting untuk menyampaikan kritik dengan cara yang lucu terhadap kelompok masyarakat yang lebih tinggi derajatnya.

Wednesday, May 25, 2011

Sudjojono, Antara Seni dan Politik


Dikenal sebagai bapak seni lukis modern Indonesia, S Sudjojono sekaligus juga seorang pejuang kemerdekaan yang menggunakan jalur kesenian sebagai sarana perjuangan. Seni bagi Sudjojono bukan sesuatu yang bebas nilai. Seni bukan untuk seni itu sendiri, melainkan seni untuk masyarakat. Melalui seni Sudjojono melibatkan diri dalam aksi-aksi memperjuangkan kemerdekaan, membangun semangat nasionalisme.

Lahir di Kisaran, Sumatera Utara, Desember 1913, Soedjojono kecil dengan bakat melukisnya yang kuat telah memikat perhatian gurunya di sekolah rendah. Maka oleh gurunya, Yudhokusumo, ia diambil anak angkat dan diajak ke Jakarta. Sudjojono belajar melukis secara otodidak. Pendidikan formalnya adalah Sekolah Guru di Lembang, Jawa Barat. Ia pun sempat bekerja sebagai guru di lembaga pendidikan tersebut.

Namun bakat melukisnya lebih menariknya untuk berkarir. Sebagai seniman, Sudjojono juga seorang pemikir dan organisatoris. Pada tahun 1937 ia bersama sejumlah pelukis seperti Affandi, dan Hendra Gunawan, mendirikan Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) di Jakarta, untuk menampung dan mengembangkan kreativitas para pelukis saat itu. Ia juga terlibat dalam berbagai organisasi pemuda dan turut memperjuangkan kemerdekaan melalui aktivitas kesenian. Bersama Affandi dan Hendra Gunawan, Sudjojono membuat poster-poster protes atas kolonialisme dan ajakan kepada para pemuda memperjuangkan kemerdekaan. Karena aktivitas politiknya itu, ia cukup dekat dengan para tokoh pergerakan termasuk Sukarno yang kemudian menjadi Presiden RI.

Pasca kemerdekaan, Sudjojono sempat menjadi anggota parlemen dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun karena tidak cocok dengan kultur birokrasi partai, ia mengundurkan diri dan secara resmi dipecat dari keanggotaan PKI. Hal ini justru menyelamatkannya dari politik represif rezim Orde Baru pasca kerusuhan 1965.

Sesuai sikap kerakyatan dan nasionalismenya, Sudjojono setia menerapkan teknik realis dalam karya-karyanya. Memang pada awal-awal karirnya ia lebih memilih jalur ekspresionisme. Namun belakangan realisme sosial lebih menarik minatnya. Karya-karya Sudjojono banyak menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat. Ia juga banyak mencatat sejarah perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan dalam kanvasnya. Salah satu lukisannya yang spektakuler yaitu Pertempuran Sultan Agung dengan JP Coen yang kini dipajang di Museum Sejarah Jakarta. Untuk membuat lukisan itu Soedjojono melakukan riset dengan keluar masuk museum dan membuka-buka catatan sejarah. Lukisan itu berhasil diselesaikan dalam waktu tujuh bulan pada tahun 1973. Sultan Agung adalah raja Mataram yang menyerang pemerintahan kolonial di Batavia pada tahun 1628-1629.

Sebagai pemikir kebudayaan, senirupa khususnya, Sudjojono banyak menulis dan menyebarkan gagasan-gagasan baru. Buah pikirannya mempengaruhi perkembangan senirupa di Indonesia. Itulah sebabnya ia pantas dianggap sebagai bapak senirupa modern Indonesia. Kumpulan tulisannya kini telah dibukukan dengan judul Seni Lukis, Kesenian dan Seniman, diterbitkan ulang oleh Yayasan Aksara, Yogyakarta, 2000.

Sudjojono meninggal pada tahun 1986, namun karya-karyanya hingga kini masih dicari banyak kolektor dunia dengan harga mencapai ratusan juta rupiah.