Sunday, December 16, 2012

Metamorfosis Lukisan Made Djirna



Dari Ekspresionisme ke Dekoratif


Oleh Winarto


Bahtera Nuh (2012) by Made Djirna
Melihat lukisan-lukisan I Made Djirna yang dipamerkan di Galeri Nasional Jakarta, bulan November lalu, kita seperti dibawa ke dunia penuh warna. Dari sekitar duapuluh lukisan yang digelar hampir separuh dibuat dalam ukuran raksasa, rata-rata memiliki panjang 4 sampai lima meter dan lebar 2 meteran. Hal ini mengingatkan kita pada lukisan wayang beber. Selain ukurannya yang besar,  juga karena lukisannya yang bergaya dekoratif dan menggambarkan sejumlah objek yang masing-masing hadir dengan narasi tersendiri.

Ini bisa dilihat misalnya pada lukisan-lukisannya yang berjudul Rama Shinta (2011), Bahtera Nuh (Noah’s Ark) (2012), Lubang Emas (The Golden Hole) (2012), Cerita (the Story) (2012), Rimba (The Forest) (2011) dan Metamorfosis (Metamorphosis, 2012)

Pada Lubang Emas (200x400) cm misalnya kita bisa menyaksikan figur-figur manusia ataupun binatang yang masing-masing berada dalam kelompok-kelompok dan terjebak di dalam lobang-lobang dengan narasi tersendiri. Demikian pula pada Rimba (the Forest) (295x485) cm kita bisa membangun sejumlah kisah berdasar gambar aneka figur manusia, binatang maupun tumbuhan yang  dipaparkan di atas kanvas.

Ekspresif

I Made Djirna, lahir pada tahun 1957 di Ubud, Bali. Lukisan-lukisannya selama ini dikenal sangat ekspresif, spontan, dan cenderung muram. Warna-warna gelap, coklat atau biru kehitaman merupakan warna-warna favoritnya.

Full of Drinks (2009) by Made Djirna
Jim Supangkat, kurator pameran, mengungkapkan, lukisan-lukisan Made Djirna sangat dipengaruhi memori masa kecilnya tentang tanah kelahirannya yang dilanda bencana. Pada 1963 gunung Agung di Bali meletus, mengakibatkan kawasan Ubud hancur, perekonomian macet. Bencana kelaparan pun terjadi.

Kenangan masa kecil yang muram itu ternyata cukup lama mengendap dan mempengaruhi pilihan eksepresi karya-karya Made Djirna, dari awal karirnya tahun 1980an hingga awal dekade 2000. Dalam pameran kali ini, karya-karyanya yang ekspresif dan muram terwakili oleh beberapa lukisannya antara lain Mengenang Piramid  (To Reminisce about Pyramid, 1994) dan Kabut Hitam (Black Fog, 1994).

Dekoratif

Mulai tahun-tahun akhir dekade 2000, lukisan-lukisan Made Djirna mengalami metamorfosis mengarah pada bentuk-bentuk dekoratif. Pilihan warna-warnanya pun tak lagi didominasi warna-warna gelap dan muram, melainkan cerah dan beragam. Metamorfosis ini dinilai oleh Hermanto Soerjanto dari GarisArt Space, penyelenggara pameran, sebagai tanda perkembangan pemikiran Made Djirna yang semakin bijak.

Meskipun menggunakan teknik dekoratif dan berkesan lembut, lukisan-lukisan Made Djirna tetap kuat menyuguhkan kritik-kritik sosial. Lihat misalnya, karyanya Gajah Genit (Flirty Elephant, 2012). Di sini Djirna mencoba menggambarkan kerusakan lingkungan akibat keangkuhan kekuasaan.

Sedangkan karyanya Full of Drinks (2009) Djirna menggambarkan sosok kepala manusia dalam ukuran besar yang di dalamnya penuh botol-botol minuman dan figur-figur manusia dalam berbagai pose tak beraturan seperti orang mabok. Di luar kepala yang berukuran besar masih terdapat beberapa sosok kepala dalam ukuran lebih kecil, nyaris tenggelam di dalam lautan botol-botol minuman yang memenuhi seluruh bidang kanvas. Agaknya Djirna ingin memotret realitas kehidupan sebagian masyarakat yang tak sadar diri, putus asa dan menenggelamkan diri dalam minuman keras yang memabokkan. Sebuah situasi anomi.

Produktif

Lulusan Istitut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta, 1981, ini termasuk seniman yang sangat produktif. Sepanjang karirnya, ia aktif menyelenggarakan pameran di berbagai daerah di Indonesia dan di luar negeri. Antara lain di Singapura, Australia, Kanada, Amerika dan Swiss. Sejumlah penghargaan pernah diraihnya antara lain Lempad Prize untuk lukisan terbaik dari Sanggar Dewata Indonesia, Jogja, 1982, dan Pratisara Affandi Adhi Karya dari Akademi Senirupa Indonesia, Jogja, 1983.
 

Sunday, April 15, 2012

Kekuatan Lukisan Cat Air


Pameran Asian Watercolour Expression 2012


Oleh Winarto


DIBANDING lukisan cat minyak, lukisan cat air selama ini tampak kalah pamor. Tidak hanya di mata masyarakat awam, namun juga di kalangan para artis sendiri dan kolektor, lukisan cat air dianggap lebih rendah derajatnya dibanding lukisan cat minyak. Hal ini agaknya berkaitan dengan beberapa ‘keterbatasan’ pada lukisan cat air.

Pertama, lukisan cat air biasanya hanya dilakukan di atas kertas, yang secara fisik memang kurang tahan lama dibanding kanvas yang merupakan medium utama cat minyak. Ukuran lukisan cat air juga relatif kecil sesuai ketersediaan ukuran kertas. Hal ini oleh sementara artis dirasa membatasi ruang ekspresi mereka.

Selain itu, secara teknis melukis menggunakan cat air lebih sulit karena harus dilakukan dalam waktu singkat mengingat sifat cat air yang cepat kering. Hal ini berbeda dari melukis menggunakan cat minyak yang bisa dilakukan selama berhari-hari bahkan beberapa bulan. Karena beberapa alasan ini tak banyak pelukis yang menggeluti teknik cat air.

Padahal, di luar ‘keterbatasan’ tersebut sesungguhnya cat air mempunyai sejumlah kelebihan dibanding medium cat minyak. Cat air menghadirkan warna-warna transparan yang kaya dan imajinatif. Sifat transparan media lukis berbasis air dimanfaatkan para artis untuk mencipta gradasi warna yang menarik. Di tangan artis yang berpengalaman cat air menawarkan sangat banyak kemungkinan eksploratif.

Pameran Asian Watercolour Expression

Kekayaan eksplorasi warna menggunakan cat air terbukti dalam karya-karya yang dipamerkan dalam “Asian Watercolour Expression 2012” yang diselenggarakan Indonesian Watercolour Society (IWS). Dalam pameran di Bentara Budaya Jakarta, tanggal 5-14 April 2012 ini dipajang sekitar seratus lukisan cat air karya para seniman sejumlah negara yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Myanmar, China, Korea Selatan dan Jepang.

Permainan gradasi warna yang menarik antara lain terlihat pada karya Phunsee Srisuphar dari Thailand, “Morning Time” (2010), atau karya Sangkom Somboonhua juga dari Thailand, “Phya Naak” (King of Nagas) (2012), dan karya Min Wae Aung (Myanmar), “Towards Monastery” (2012). Pada “Morning Time” Phunsee Srisuphar warna-warna biru, hijau dan kuning saling membaur sangat lembut menghadirkan suasana kebekuan pagi yang mulai mencair. Gradasi warna seperti ini kiranya susah diperoleh bila menggunakan cat minyak.

Sedangkan pada “Phya Naak” (King of Nagas) karya Sangkom, gradasi warna mampu membangun kesan gerak dinamis sang naga. Sementara, Min Wae Aung dalam “Toward Monastery” berhasil menghadirkan keagungan yang misterius pada sosok lima orang biksu melalui gradasi warna coklat, kuning putih.

Tak kalah dari cat minyak, medium cat air juga mampu menorehkan detil secara menakjubkan. Hal ini terlihat antara lain pada “Bed of Leaves” (2011) karya Elizabeth Que Bato (Filipina). Lekukan, garis dan titik-titik yang membentuk corak daun pada tanaman jenis puring ini terlukis sangat detil dan realistik. Susah mempercayai bahwa lukisan ini menggunakan media cat air. Demikian pula pada lukisan D Tjandra Kirana (Indonesia), “Asak Girls” (2012). Detil warna warni menarik terlihat pada corak kostum para gadis Asak ini.


Di tengah masih rendahnya penghargaan terhadap lukisan cat air, pameran “Asian Watercolour Expression 2012” yang berhasil menyuguhkan sekitar seratus karya dari para seniman berbagai negara ini, sungguh memberi harapan. Sebagaimana diungkapkan Ipong Purnama Sidhi, kurator Bentara Budaya sebagai penyelenggara pameran, pameran ini diharapkan bisa mengangkat pamor lukisan dengan medium berbasis cat air.


Menurut rencana, pameran Asian Watercolur Expression juga akan digelar di beberapa kota di Indonesia, yaitu di Jogjakarta, Solo, dan Bali.