Wednesday, August 28, 2013

Tragedi Drupadi di Tangan F Widayanto

Pameran Patung Keramik Pandawa Diva

Oleh Winarto

"Dru vs Dur", patung keramik F Widayanto
Sosok perempuan muda jelita itu begitu menderita, berusaha mempertahankan kain penutup tubuhnya yang coba dibuka dan ditarik oleh seorang lelaki berwajah dingin dan kejam. Perempuan itu tak lain dari Wara Drupadi, putri Prabu Drupada, Raja Pancala. Drupadi dijadikan taruhan oleh suaminya, Yudhistira, dalam permainan dadu dengan Korawa. Malang, Yudhistira kalah main dadu, sehingga Drupadi jatuh ke tangan Korawa. Dursasana, salah seorang anggota Korawa, mencoba menelanjangi Drupadi. Namun, keajaiban terjadi. Kain penutup tubuh Drupadi ternyata terus memanjang, meski Dursasana berusaha menariknya tanpa henti. Sehingga tubuh Drupadi tetap terbalut kain dan kesuciannya tetap terjaga. Sedangkan Dursasana akhirnya pingsan karena kelelahan.

Atas perlakuan itu, Drupadi bersumpah tidak akan mencuci rambutnya yang sempat dijarah Dursasana, sampai Dursasana mati dalam perang Baratayudha. Ia akan menggunakan darah Dursasana untuk mandi keramas. Kelak, dalam perang Baratayudha antara Pandawa dan Kurawa, Dursasana terbunuh oleh Bima, salah seorang kstaria Pandawa.

Kisah Drupadi adalah kisah tragedi tentang kesetiaan dan dendam seorang perempuan. Drupadi, puteri seorang raja, tidak dilahirkan dari rahim seorang ibu, melainkan dari seberkas cahaya hasil puja-samadi sang raja. Karena itu, kelahirannya adalah sebuah berkah, tak heran bila kecantikannya luar biasa. Sebagai seorang isteri, ia begitu setia kepada sang suami. Namun, justru ia dipertaruhkan dalam ajang permainan judi.

Dalam kisah Mahabarata, setelah sumpahnya mandi keramas dengan darah Dursasana terwujud dan perang Baratayudha berakhir, Drupadi bersama sang suami,Yudhistira, mati muksha – hilang bersama jasadnya – menuju ke hadirat Sang Maha Pencipta.

                                                                                         Drupadi Pandawa Diva
Kisah tragik Drupadi telah mengilhami pematung keramik kenamaan, F Widayanto, menggelar pameran yang menyuguhkan sosok Drupadi dalam berbagai wujud. Pameran bertajuk “Drupadi Pandawa Diva” yang digelar di Galeri Nasional, 22-30 Agustus 2013, sekaligus merayakan 30 tahun ia berkarya. Pameran menghadirkan 30 patung Drupadi dalam berbagai pose, warna dan ukuran.

"Ukel Ambyar", patung keramik F Widayanto
Begitu masuk ruang pamer  utama di Galeri Nasional kita akan disambut dengan sosok Drupadi yang dipasang di bawah cahaya terang. Kulitnya putih – tidak kehitaman seperti dikisahkan dalam pewayangan – dengan wajah menengadah dikelilingi kelopak bunga melati yang bergelantungan. Patung setinggi sekitar satu setengah meter itu diberi judul “Drupadi Agni” (Drupadi Api) seolah menggambarkan asal kehidupan Drupadi dari seberkas cahaya api.

Pada bagian dalam ruangan, tata cahaya dibuat temaram, membuat sosok-sosok Drupadi terperangkap dalam keremangan. Adegan paling dramatik dalam kisah Drupadi diwujudkan dalam patung “Dru Vs Dur” yang menggambarkan upaya Dursasana menelanjangi Drupadi dengan menarik kain Drupadi. Melalui karyanya ini, Widayanto berhasil melukiskan moment paling gelap dalam perjalanan hidup Drupadi. Jeritan hati dan amarah Drupadi terlihat jelas pada raut wajahnya berhadapan dengan sosok Dursasana yang dingin dan kejam.

Beberapa karya lain yang sangat kuat menggambarkan penderitaan Drupadi yaitu “Kebrugan Jagad” (Kejatuhan Dunia) dan “Bedhah Nelangsa” (Meluapkan Derita). Pada dua karya ini sosok Drupadi begitu kuyu, duduk di lantai dengan kaki berselonjor, rambut acak-acakan. Sejumlah mata dadu berserakan di sekitar tubuhnya. Kulit tubuh Drupadi juga berwarna gelap sebagaimana dalam kisah Mahabarata.

Sementara, pada sebagian besar karya lainnya F Widayanto tampak mengeksplorasi kecantikan wajah dan kemolekan tubuh Drupadi. Ini terlihat antara lain pada “Pandawa Diva”, “Ukel Ambyar”, Ngore Ngecucung”.

                                                                                              Eksplorasi Tradisi
Fransiscus Widayanto yang lahir di Jakarta, 23 Januari 1953, adalah lulusan Seni Rupa ITB. Mulai karirnya sebagai seniman keramik pada tahun 1983 dengan mendirikan studio keramik Maryans Clay Work. Ia dikenal sebagai seniman keramik yang suka mengeksplorasi tradisi dalam karya-karyanya. Beberapa karya patungnya yang cukup dikenal yaitu Loro Blonyo (1990), Golekan (1997), Dewi Sri (2003) dan Fantastic lady (2005).

Karya-karyanya diminati oleh para kolektor tidak hanya dari dalam negeri, namun juga dari luar negeri antara lain  Raja Yordania dan butik terkenal dari Prancis, Hermes.

Tuesday, August 27, 2013

Romantisme Perjuangan Dalam Lukisan Augustin Sibarani

Oleh Winarto

"Laskar Bambu Runcing", lukisan Augustin
Sibarani
LEBIH dikenal sebagai karikaturis yang sangat tajam menyampaikan kritik sosial, Augustin Sibarani ternyata juga mampu menuangkan gagasan dan imajinya secara ekspresif dalam lukisan cat minyak  di atas kanvas. Selama satu minggu, 22-29 Agustus 2013, 40 karya lukisnya dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta. Pameran bertajuk “Lukisan Augustin Sibarani 1973-2013” ini sangat pas dihadirkan saat ini ketika masyarakat Indonesia baru saja memperingati hari kemerdekaan negerinya. Juga, di tengah karut marut perpolitikan di tanah air, karya-karya Sibarani bisa menjadi sarana untuk berkaca bagi kita sebagai suatu bangsa.
Dalam sebagian besar karyanya yang dipamerkan di sini, Sibarani ingin mengungkapkan bahwa kemerdekaan yang kita nikmati saat ini adalah hasil perjuangan panjang dan sarat pengorbanan. Sehingga, tidaklah etis apabila buah pengorbanan luar biasa besar itu hanya dijadikan mainan elite-elite politik untuk kepentingan mereka sendiri. Lewat karya-karyanya, Sibarani hendak mengingatkan bahwa masih banyak problem sosial yang menuntut perhatian para pemimpin negeri ini.
                                                                             Romantisme Masa Perjuangan
Dari 40 lukisannya yang dipajang di dua ruang pamer Bentara Budaya Jakarta sekitar 15 diantaranya menggambarkan suasana perjuangan merebut kemerdekaan RI. Sibarani yang pernah ikut berjuang dengan mengangkat senjata ini berhasil merekam romantisme masa perjuangan dan melukiskan secara ekspresif dengan goresan kuasnya di atas kanvas.
Lihat misalnya, lukisannya “Laskar Bambu Runcing” yang menggambarkan seorang lelaki pejuang. Tubuhnya tampak kekar, tangan kanannya memegang kuat senjata bambu runcing, sementara tangan kirinya terbalut perban dengan bercak darah. Di dada kirinya tertempel pin bendera merah putih. Tatapan matanya sangat tajam memandang ke depan. Lukisan ini mampu menghadirkan karakter sosok pejuang kemerdekaan yang dengan senjata tradisional tanpa rasa takut melawan penjajah.
Romantisme masa perjuangan dilukiskan dalam beberapa karyanya antara lain “Markas Gerilya” yang menggambarkan para anggota laskar Indonesia di markas mereka di tengah hutan. Beberapa orang tampak sedang menyalakan tungku untuk memasak, beberapa laskar perempuan merawat anggota laskar yang terluka, sedangkan yang lainnya berjaga memegang senjata, dan seseorang memegang gitar. Suasana yang mirip juga terdapat pada lukisan “Mengelilingi Api Unggun” dan “Istirahat Bakar Jagung”.
"Mengelilingi Api Unggun", lukisan Augustin Sibarani
Keakraban antara para pejuang dengan warga sipil dilukiskan dalam karyanya “Memberi Makan Prajurit” dan “Terluka di Saat Gerilya/Wanita Penolong”. Pada “Memberi Makan Prajurit” digambarkan seorang tentara yang tengah menikmati makanan yang diberikan dua orang penduduk desa. Sedangkan karyanya “Terluka di Saat Gerilya” memperlihatkan dua orang perempuan tengah menolong seorang pejuang yang terluka.
Sibarani memberi perhatian cukup besar pada peran perempuan dalam masa perjuangan. Pada beberapa lukisannya tentang para pejuang ia menunjukkan keberadaan para wanita baik sebagai perawat, juru masak, dan bahkan juga sebagai anggota laskar yang ikut mengangkat senjata. Hal ini misalnya terlihat pada lukisannya “Laskar Wanita Membidik Tank”.
                                                                                                     Kritik Sosial
            Sebagai seorang karikaturis, Augustin Sibarani sangat disegani oleh penguasa karena kritik-kritik sosialnya yang tajam dalam gambar-gambar karikaturnya. Berbeda dari masa Presiden Soekarno, Sibarani sangat disanjung dan dikatakan sendiri oleh Bung Karno sebagai karikatur hebat yang pernah dimiliki Indonesia, di masa Presiden Soeharto Sibarani diberangus, karya-karya karikaturnya tidak bisa diterbitkan di media umum. Karena pembatasan-pembatasan yang diterimanya, Sibarani mulai mengeksplor kemampuannya dalam seni lukis yang oleh penguasa dinilai tidak terlalu berbahaya dibanding karikatur. Tapi, selama Orde Baru ia tetap saja tidak boleh memamerkan hasil karya lukisnya. Hal itu karena penilaian pemerintah Orde Baru yang menganggap pelukis kelahiran Pematang Siantar terlalu dekat dengan kelompok ideologi kiri.
            Jejak karikatural dengan muatan kritik sosial dan humor memang tampak pada sebagian lukisan Sibarani. Diantaranya ikut dipajang dalam pameran kali ini yaitu “Lahir Di Bawah Kolong”, “Penyanyi Di Luar Pagar” “Pengamen Berulos”,  dan “Catur Tidak Seimbang”.
           
"Pengamen Berulos", lukisan Augustin
Sibarani
“Lahir Di Bawah Kolong” menggambarkan sebuah keluarga gelandangan dengan seorang bayi yang baru saja dilahirkan di sebuah kolong jembatan. Sedangkan “Penyanyi di Luar Pagar” melukiskan sekelompok pengamen yang bernyanyi di depan sebuah rumah yang berpagar kawat berduri  dan sebuah tanda bergambar kepala anjing – tanda yang biasa dipasang di pagar rumah-rumah mewah untuk menunjukkan bahwa ada anjing galak di rumah itu, guna menakut-nakuti pengamen dan peminta-minta. “Pengamen Berulos” juga mengambarkan sekelompok pengamen, satu diantaranya adalah seorang bocah yang bertugas memegang topi untuk menerima koin uang dari warga. Lukisan-lukisan ini menunjukkan kepedulian Sibarani kepada kelompok warga strata bawah dan yang terabaikan oleh kekuasaan.
            Lukisannya “Catur Tidak Seimbang” menunjukkan permainan catur antara seorang bocah melawan seorang lelaki dewasa. Si bocah digambarkan begitu sedih melihat papan catur, sementara si lelaki dewasa digambarkan begitu santai menikmati permainan sambil menenggak minuman dan sebatang rokok di tangannya. Tubuh lelaki itu kelihatan begitu kekar, besar, mengenakan dasi dan jaket rangkap.  Sementara si bocah terlihat begitu kecil dan rendah di hadapan sang raksasa. Di sekitar mereka terdapat beberapa orang menonton permainan catur mereka, beberapa diantaranya mentertawakan si bocah malang. Lukisan ini bisa ditafsirkan sebagai gambaran tentang banyaknya ketimpangan sosial dan ketidak-adilan politik di tanah air.
                                                                                           Lukisan Sisingamangaraja
           
"Sisingamangaraja XII", lukisan
Augustin Sibarani
Karya Sibarani yang sangat fenomenal adalah lukisannya yang berjudul “Sisingamangaraja XII”. Lukisan yang juga dipamerkan ini memiliki sejarah unik dan menarik. Awalnya ketika masyarakat Batak memimpikan seorang pahlawan sebagaimana rakyat Aceh memiliki Tjut Nya Dien dan Teuku Umar, masyarakat di Jawa dengan Pangeran Diponegoro, atau warga Maluku dengan Patimura-nya. Merekapun mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar mengangkat Sisingamangaraja XII sebagai pahlawan nasional.
            Sibarani yang mendapat kepercayaan melukis Sisingamangaraja tak menemukan dokumen apapun yang menunjukkan wajah tokoh yang hidup pada akhir abad ke 19 itu. Maka iapun mereka-reka wajah Sisingamangaraja berdasar keterangan dari ketuturunan Sisingamangaraja dan mereka yang mengenal sosok pahlawan itu. Wajah Sisingamangaraja akhirnya berhasil ia bangun dan lukiskan dalam kanvas. Lukisan itu kemudian dipasang di Istana Presiden dan dijadikan gambar pada uang kertas pecahan seribu rupiah. Sibarani sempat menggugat Bank Indonesia karena penggunaan lukisannya itu tanpa meminta ijinnya.
            Bisa dikatakan, Sibarani adalah ‘penemu’ wajah Sisingamangaraja. Lukisannya itu akan menjadi peninggalan paling berharga dan abadi darinya. Augustin Sibarani lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, pada 25 Agustus 1925. Kini ia tinggal di kawasan Cinere, Jakarta Selatan, bersama salah seorang puteranya.