Friday, June 24, 2011

Seni Kontemporer Indonesia: Realitas dan Fantasi


It is really that Indonesian artists have great potency to coloring the world of fine art in international forum. With various culture backgrounds Indonesian artists can produce unique artworks that compromise modern contemporary and traditional arts.

Lagi, karya-karya seniman Indonesia akan diusung ke luar negeri. Kali ini melalui pameran bertajuk Indonesian Eye: Fantasies & Realities, karya-karya dari 18 seniman Indonesia akan digelar di Saatchi Gallery, sebuah galeri yang cukup dikenal dan bergengsi di London, Inggris, 27 Agustus – 9 Oktober 2011. Sebelumnya, empatpuluh satu karya seni berupa lukisan, patung, dan instalasi, dan fotografi tersebut dipajang di Ciputra Artpreneur Center, Jakarta, 9 Juni – 10 Juli 2011.
Para seniman yang karya-karyanya terpilih dalam pameran ini antara lain Heri Dono, Eddie Hara, Eddo Pillu, Haris Purnomo, Agung Mangu Putra, Nindityo Adipurnomo dan Mella Jaarsma. Selain itu juga terpilih karya-karya dari sejumlah artis muda seperti Jompet Kuswidananto, Samsul Arifin, dan Wedhar Riyadi. Di samping lukisan, patung dan instalasi, pameran juag menghadirkan karya fotografi dari Angki Purbandono.
Pemrakarsa pameran, David Cicilitira dari Saatchi Gallery, mengungkapkan, tujuan Indonesian Eye adalah untuk mengenalkan karya-karya artis Indonesia di dunia internasional. Karena itu, selain karya para seniman senior Indonesian Eye juga menampilkan karya-karya para seniman muda yang mempunyai potensi besar untuk berkembang. Indonesian Eye bisa dikatakan sebagai kelanjutan pameran serupa, Korean Eye, yang juga digelar Saatchi Gallery dan sukses memperkenalkan karya-karya artis Korea ke dunia internasional.
Seniman Indonesia dinilai memiliki potensi besar untuk mewarnai dunia seni kontemporer dunia. Dengan latar kebudayaan yang sangat beragam berbasis seni tradisi karya-karya yang diusung dalam pameran kali ini cukup unik. Seperti karya Heri Dono misalnya, mencoba menggambarkan kondisi sosial politik kontemporer dengan memanfaatkan figur-figur dan elemen tradisi khususnya seni wayang. Lihat misalnya karyanya, “Playing Chess” atau “Looking for a Fake President”. Sementara, karya instalasi Jompet Kuswidananto, “War of Java, Do You Remember?” mengingatkan kita akan sejarah kolonialisme di negeri ini. Dibaca dalam konteks masa kini karya Jompet masih relevan mengingat kondisi sosial ekonomi Indonesia yang sesungguhnya masih terjajah dalam hubungan dengan negara-negara maju.
Karya Wedhar Riyadi, “New Neighbour From Outerspace”, mengambarkan dua bocah, yang satu memiliki kepala dan wajah mirip gambaran mahluk angkasa luar, bertukar mainan. Sebuah khayalan menarik yang menurut Wedhar banyak diilhami dunia film di televisi.
Secara umum, sekitar empat puluh karya yang dihadirkan dalam Indonesian Eye menggambarkan fantasi para artis tentang realitas kekinian Indonesia.

English version: Indonesian Contemporary Art: Fantasies and Realities

Monday, June 6, 2011

Dunia Dongeng Irwanto Lentho




Oleh Winarto

With term “The Engraver” Irwanto Lentho wants make differences from term “The Carver”, “The Sculptor” and “The Painter”.

Menyimak karya-karya Irwanto Lentho pertamakali kita akan merasa terhenyak melihat ribuan garis-garis tipis yang melatarbelakangi atau juga menjadi bagian pembentuk figur-figur seperti manusia, gajah, kuda, burung, kereta yang menjadi subyek lukisannya. Pertanyaan yang muncul seketika yaitu, bagaimana sang artis mampu membuat ribuan garis-garis tipis seperti itu. Untuk itu, tentu dibutuhkan ketelatenan luar biasa.

Kekaguman kita akan semakin besar ketika kita mengetahui, bahwa ribuan garis-garis tipis itu bukan hasil sapuan kuas, melainkan hasil guratan pada kayu (hardboard) yang kemudian dikopi-cetak di atas kanvas. Tak bisa dipungkiri, sekitar duapuluh karyanya yang dipajang di Bentara Budaya, Jakarta, 26 Mei – 4 Juni 2011, membuktikan kemampuan paripurna Irwan Lentho dalam penguasaan teknik seni cukil kayu. Tidak salah pula bila ia memilih tajuk “Sang Pencukil” untuk pameran tunggalnya kali ini.

Namun pilihan istilah “Sang Pencukil” bukan hanya merujuk pada tataran kemampuan Irwanto Lentho sebagai seniman lukisan cukil kayu. Dalam catatan kuratorialnya, Aminudin TH Siregar, mengungkapkan, pilihan istilah “Sang Pencukil” menegasikan posisi istilah tersebut dalam wacana sosial. Dengan istilah “Sang Pencukil” (The Engraver) Irwanto ingin membedakannya dari istilah-istilah serupa seperti “Pemahat” (Carver) , “Pematung” (Sculptor) atau “Pelukis” (Painter). Istilah ini menurut Aminudin, merupakan tawaran menarik untuk memperkaya perbendaharaan ungkapan dalam praktik senirupa. Sehingga istilah “Sang Pencukil” di masa mendatang bisa diterapkan bagi mereka yang menggeluti seni grafis cukil kayu.

Di luar masalah teknis, kekuatan karya-karya Irwanto Lentho terlihat pada ide-idenya. Lukisan-lukisan grafis Irwanto menyuguhkan tema-tema yang berkesan ringan, namun sebenarnya cukup memancing kita untuk berkontemplasi. Mencermati karya-karyanya kita seperti memasuki dunia dongeng. Di situ kita bisa bertemu aneka binatang dan tokoh-tokoh manusia yang tampak akrab, bersahabat dan bisa berkomunikasi dengan aneka satwa tersebut.

Seperti membaca cerita dongeng, kita bisa dengan mudah menangkap alur ceritanya, karena cara penuturan yang sederhana dan ringan. Namun, cerita dongeng umumnya sarat akan makna, menggamit pesan-pesan moral dan kebijaksanaan. Begitupun karya-karya Irwanto yang secara sederhana dan ringan melukiskan narasinya, namun sebenarnya sarat makna.

Lihat misalnya, karyanya “Berlomba Untuk Pulang”. Karya dengan ukuran relatif besar (200 cm x 122 cm) ini menggambarkan tiga orang gadis menunggang zebra, berlomba saling kejar dan mendahului. Namun kaki-kaki zebra tampak bertumpu pada roda-roda bergerigi. Mereka “terbang” di atas gedung-gedung. Gambaran ini mengingatkan kita pada realitas kehidupan modern yang serba ingin cepat, saling mendahului, saling mengatasi. Ketiga penunggang zebra yang semuanya perempuan bisa juga dikaitkan dengan isyu-isyu gender.

Karyanya yang lain, “Memaksakan Keinginan”, melukiskan seseorang mengenakan perlengkapan mirip pilot pesawat, sedang menunggang seekor burung. Sang burung kelihatan sangat berat, dengan perutnya yang luar biasa besar dibanding sayapnya yang pendek. Sementara paruhnya menjepit seekor ikan emas. Beberapa helai bulunya rontok. Sang “pilot” tampak membawa “kitiran” atau baling-baling dari kertas. Membaca karya ini kita dibawa ke permenungan tentang ambisi dan keserakahan yang tak jarang menghinggapi sebagian dari kita, yang selalu menginginkan sesuatu melebihi kemampuan kita untuk mewujudkannya.

Sementara dalam karyanya “Belajar Kasih Sayang” Irwanto mengajak kita meneladani sikap melindungi dan mengasihi satwa kanguru dengan kantung di perutnya.

Irwanto Lentho lahir di Sukharjo, Jawa Tengah, 4 April 1979. Sejumlah penghargaan telah diraihnya antara lain Finalis Philip Moris Art Awards 2001, Finalis Trienal Seni Grafis II Indonesia 2006, Karya Terbaik ke-2 Trienal Seni Grafis Indonesia III 2009. Puluhan pameran karya-karyanya telah digelar di berbagai kota di Indonesia dan di luar negeri.

Pameran tunggal “Sang Pencukil” menurut jadwal juga akan diusung di Bentara Budaya Bali, Bentara Budaya Jogja, dan Balai Sujatmoko Solo, dalam bulan Juli dan Agustus mendatang.