Sunday, May 12, 2013

Meta Amuk, Seni Sebagai Kritik Sosial

Oleh Winarto

"Space", video instalasi, karya Wahyu Utami
Sosok perempuan dengan pakaian tradisional Jawa itu muncul dari dasar kolam, badannya telentang di permukaan air, lalu melakukan beberapa gerakan salto dan kembali hilang di kedalaman. Tak berapa lama, ia kembali muncul ke permukaan, melakukan gerakan yang sama dan kembali hilang. Menyaksikan tayangan video ini selama beberapa menit, nafas kita akan tertahan karena ikut merasakan penderitaan sosok perempuan tersebut, yang terus melakukan gerakan yang sama berulang-ulang keluar masuk ke dalam air  tanpa kesudahan.

Video instalasi berjudul “Space” karya Wahyu Utami dengan cerdas berhasil menggambarkan ruang gerak perempuan tradisional yang sangat terbatas dalam kehidupan sosial. Mereka hanya bergerak dalam kehidupan yang rutin, monoton, tanpa jeda dan variasi, terpagari berbagai keterbatasan: tradisi, budaya, ekonomi dan politik.

Tayangan video ini amat menarik, bukan hanya kontennya, tapi juga penyajiannya secara keseluruhan. Layar monitor dengan luas 1,5 x 2 meter ditaruh di lantai, menghadap ke atas, dibatasi dinding  sekeliling setinggi sekitar 20 sentimeter, sehingga menyerupai bangunan kolam renang. Ketika menonton video ini, kita seperti berada di sisi kolam renang dan menyaksikan langsung sosok perempuan berenang. Di tengah keheningan suasana ruang pameran, suara air kolam dalam tayangan video terdengar sangat rismis dan menyimpan misteri.

“Space” adalah salah satu dari 115 karya lukisan, patung dan instalasi yang disuguhkan dalam Pameran Senirupa Nusantara 2013 di Galeri Nasional, 8-24 Mei 2013. Karya-karya yang dipajang di tiga ruang pamer Galeri Nasional ini adalah hasil seleksi ketat dari karya para seniman di 25 propinsi di tanah air.

Dua orang kurator pameran Kuss Indarto dan Asikin Hassan menyodorkan tema “Meta Amuk” yang berupaya menghadirkan karya senirupa dalam relasinya dengan kondisi sosial masyarakat.

“Senirupa selain sebagai ekspresi pribadi juga berperan dalam menggagas perkara sosial kemasyarakatan dalam cakupan lebih luas. Pameran ini berhasrat menggali ide-ide para seniman dalam menanggapi persoalan dunia dan tradisi kritik sosial yang melekat dalam budaya di Nusantara,” ungkap Kuss Indarto dalam catatan kuratorialnya.

                                                                                       Masalah Gender dan Ketertinggalan

"Beauty Ailing", lukisan Ugy Sugiharto
Dari sekian banyak karya, “Space” cukup kuat menjawab tantangan yang disodorkan kurator terkait tema pameran. Wahyu Utami menafsirkan “amuk” dalam konteks masalah gender. Problem perempuan yang dalam budaya tradisional masih terbelenggu berbagai keterbatasan.

Senada dengan Wahyu Utami, Ugy Sugiharto juga mengangkat masalah keperempuanan. Melalui lukisannya, “Beauty Ailing” Ugy menghadirkan sosok perempuan muda, cantik, namun telanjang dan hanya diam terperangkap dalam belitan lumpur. 

Sementara, Achmad Sobirin berbicara tentang keterbatasan dan ketertinggalan. Melalui karyanya “Merebut Seruling Tetangga” Sobirin menggambarkan dua orang penduduk desa di tengah hutan dan seorang bocah sedang berselisih berebut seruling. Lukisan ini mengingatkan kita pada masyarakat pedesaan umumnya dan suku-suku asli yang tertinggal atau ditinggalkan oleh mesin pembangunan negara.

                                                                                       Politik dan Korupsi
"Merebut Seruling Tetangga", lukisan Achmad Sobirin
Masalah lain yang banyak digugat para perupa dalam pameran ini yaitu menyangkut hiruk pikuk di dunia politik, korupsi dan kekerasan yang masih sering terjadi di tanah air. Beberapa karya tentang hal ini cukup menarik dengan menampilkan unsur-unsur simbolik. Antara lain karya Gigin Ginanjar, “Bocor” yang melukiskan selembar baju perempuan (tank top) yang berlumur darah dan tertancapi belasan benda-benda tajam. Juga, lukisan “Selalu Ada Api” karya Hasan yang mengingatkan kita akan  ancaman kekerasan dan konflik yang terus menghantui kita selama ini.

Hiruk pikuk di dunia politik tergambarkan melalui karya Sugihartono, “Album Reformasi”. Karyanya menggunakan media pena di atas kertas sebanyak 46 lembar dan dipajang dalam panel seluas 200 x 244 cm, berupa sketsa dan coretan-coretan yang merekam berbagai aksi-aksi unjuk rasa dan kekerasan dalam masa perjuangan Reformasi.

Sementara, beberapa karya tentang korupsi mengambil simbol-simbol yang sangat klasik: babi sebagai binatang yang dianggap rakus dan tikus binatang pengerat yang  disimbolkan sebagai para elite politik yang korup.

Secara keseluruhan Pameran “Meta Amuk” berhasil menyampaikan satu pesan kunci: bahwa seni bukan semata-mata untuk seni. Ada tugas dan fungsi lain, yaitu seni sebagai kritik sosial.