Friday, July 8, 2011

I Nyoman Masriadi, Ikon Baru Senirupa Kontemporer Indonesia

Nyoman Masriadi is only artist with spectacular achievement now. The achievement that can be observed clearly is the price of his works which are so high, higher than Indonesian maestro artists’ works prices. His work with title “The Man From Bantul – the Final Round”, for example, was sold by the Sotheby Auctioneer, Hong Kong, in October 2008, with price HKD 7,8 millions or about 9 billion rupiahs.

Raden Saleh, Affandi, S Sudjojono, tak terbantah sebagai para maestro senirupa Indonesia yang telah membawa nama harum bagi negeri kelahirannya di forum dunia. Sampai kini karya-karya mereka masih dicari para kolektor di dalam dan luar negeri dengan harga selangit.

Namun dunia senirupa Indonesia tidak hanya punya para maestro yang kini sudah almarhum. Regenerasi terus berlangsung. Sesudah Raden Saleh, Affandi, dan S Sudjojono, ada generasi yang lebih muda dengan reputasi internasional antara lain Heri Dono, Agus Suwage, Entang Wiharso, Eddie Hara yang kini berusia sekitar lima puluhan tahun.

Belakangan muncul adik-adik mereka yang jauh lebih muda dengan karya-karya yang mulai dikenal para pecinta senirupa internasional. Mereka antara lain I Nyoman Masriadi, Jompet Kuswidananto, Wedhar Riyadi yang berusia antara 35 hingga 40 tahunan.

Prestasi cukup spektakuler diraih I Nyoman Masriadi. Prestasi yang mudah dilihat adalah harga karya-karyanya yang belakangan ini melambung melampuai harga karya-karya para maestro di tanah air. Pada bulan Oktober 2008, karyanya berjudul “The Man From Bantul – the Final Round” terjual di Balai Lelang Sotheby, Hongkong, dengan harga HKD 7,8 juta atau sekitar Rp 9 milyar. Sebelumnya, di Balai Lelang Christie Hongkong karyanya berjudul “Used to being Stripped” laku dengan harga sekitar Rp 5 milyar. Kini harga lukisan Masriadi rata-rata dua hingga tiga milyar rupiah di tingkat galeri.

Sebagian kalangan mungkin mengatakan, apresiasi yang tinggi di pasar tidak serta merta menunjukkan capaian tingkat estetika sebuah karya seni. Tetapi akan terlalu naif menafikan apresiasi pasar yang sangat tinggi dan menganggap pasar semata-mata berurusan dengan bisnis mencari untung. Bagaimanapun pasar juga menetapkan standar kualitas estetik pada suatu karya seni.

Capaian estetik karya-karya Masriadi mungkin belum bisa disejajarkan dengan karya-karya Affandi misalnya, namun sejumlah pengamat menilai karya-karya pelukis kelahiran Gianyar, Bali, tahun 1973 ini, cukup istimewa. Kekuatan karya-karya Masriadi terutama bukan pada aspek teknis, melainkan pada pilihan-pilihan tema yang sering melawan arus utama senilukis pada jamannya. Ketika kebanyakan artis di tanah air beramai-ramai mengusung tema-tema politik sesuai dengan situasi dan kondisi sosial politik nasional, Masriadi bermain-main dengan tema sederhana dengan pendekatan karikatural dan komikal. Karya-karya Masriadi sangat dipengaruhi oleh budaya populer dalam televisi dan internet. Online game adalah salah satu kegemarannya. Ia juga tidak mengikuti kecenderungan umum yaitu menggunakan gaya abstrak-ekspresionisme. Masriadi lebih memilih gaya kubisme.

Masriadi juga tidak suka dengan cara berpikir rumit yang sangat teoritik dalam melukis. Ia lebih suka berpikir sederhana. Pengamat senirupa Dwi Marianto mengungkapkan, representasi (artistik) Masriadi ditandai oleh kesederhanaan, dengan ide-ide yang dikembangkan dari keinginan menghadirkan peristiwa-peristiwa yang membuatnya tertawa. Ia mengadopsi ekspresi visual dan guyonan verbal dari komik strip, online game, dan perbincangan sehari-hari dan menggunakan tipografi suratkabar untuk membuat teks. Ini semua menguatkan aliran humor untuk memprovokasi pemikiran atau perenungan.

Masriadi yang sempat mengenyam pendidikan di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, 1993-1998, telah menggelar pameran di berbagai kota di tanah air dan sejumlah negara seperti Singapura, Taiwan, Australia, Nederland dan Amerika Serikat. Masriadi kini bisa dikatakan telah menjadi ikon baru senirupa kontemporer Indonesia.

English Version: I Nyoman Masriadi, New Icon of Indonesian Contemporary Art

Lihat Profil Pelukis lainnya: Heri Dono, S Sudjojono

Sunday, July 3, 2011

Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas 2010


Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas 2010

Sejak digelar pertamakali pada tahun 2003, Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas menjadi agenda seni tahunan surat kabar terbesar di Indonesia itu. Dengan perkecualian pada tahun 2004, di mana pameran gagal diselenggarakan, Pameran Ilustrasi Cerpen Kompas hingga kini telah berlangsung delapan kali. Pada pameran kali ini ditampilkan 50 karya senirupa yang selama ini menjadi ilustrasi cerpen-cerpen pada Kompas Minggu sepanjang tahun 2010.

Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, karya seni yang ditampilkan kali ini tidak hanya berupa lukisan, namun juga fotografi, patung, instalasi, bahkan video.

Beberapa artis yang karyanya dipajang di sini antara lain Ade Darmawan, Agus Purnomo, Agus Budiyanto, Angki Purbandono, Bob Yudhita Agung, Bunga Jeruk, Danarto, Dewa Ardana, Eddi Prabandono, Ipong Purnama Sidhi, Laksmi Shitaresmi, dan Ong Hari Wahyu. Pameran berlangsung di Bentara Budaya Jakart, dari tanggal 28 Juni-5 Juli 2011. Setelah itu, pameran juga akan dilangsungkan di Bentara Budaya Bali, Balai Soedjatmoko Solo, dan Bentara Budaya Jogjakarta.

Pameran Colored Conersance

Pameran Colored Conersance akan digelar di Galeri Nasional Indonesia, Jalan Merdeka Timur No 14, Jakarta, tanggal 2 – 10 Juli 2011. Pameran menghadirkan sejumlah artis dari Indonesia dan China yaitu Dadan Setiawan, Edo Pilu, Ferry Widiantoro, Agung Fitriana, Chenng Chunmu, Song Yonghua, Qian Gang, Xie Xiaobing, dan Zha Jin Xi.

Pameran Tunggal Seni Grafis Winarso Taufik

Winarso Taufik, peraih penghargaan pertama pada Trienal Seni Grafis Indonesia tahun 2009, akan menggelar karya-karyanya di Bentara Budaya Jakarta, 15 – 23 Juli 2011. Pameran juga akan diusung ke Bentara Budaya Jogjakarta, Bali dan Balai Soedjatmoko Solo. Dengan kurator Hendro Wiyanto, pameran akan menampilkan 30 karya cukil kayu WinarsoTaufik. Pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, 7 November 1977, dan lulusan ISI Jogjakarta ini, merupakan salah satu seniman muda yang menggeluti seni cukil kayu. Selain Winarso, seniman muda yang konsisten dengan teknik cukil kayu yaitu Irwanto Lentho, yang beberapa waktu lalu juga tampil di Bentara Budaya Jakarta.