Monday, October 21, 2013

Pameran Seni Grafis Natural Mystic

Agung Prabowo Menjawab Rasa Takut


Oleh Winarto


Family Matters, seni grafis, karya Agung Prabowo
Ketidak-tahuan adalah sumber ketakutan. Ketakutan karena ketidak-tahuan adalah hal manusiawi, dialami oleh hampir semua orang. Kita takut akan gelap, karena kita tidak tahu apa yang ada dalam kegelapan itu. Banyak orang mengalami ketakutan tanpa henti, karena ia tidak pernah berusaha menyimak kegelapan untuk mengetahui apa yang terjadi.
Ketakutan seperti inilah yang dirasakan Agung Prabowo, ketika ia mulai menapaki fase baru dalam perjalanan hidupnya yakni sebagai seorang ayah. Ketakutannya bersumber pada kebutaannya tentang berbagai misteri dan mitos; tentang proses bagaimana seorang janin tumbuh dan berkembang di dalam kandungan, bagaimana sang ibu harus berjuang menghadapi proses kelahiran sang anak. Juga, tentang pamali atau pantangan yang menyertai tumbuh kembang anak.
Ia mengaku takut, karena tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun, pada suatu titik, Agung berhasil mengatasi rasa takut karena ketidak-tahuannya itu dengan menumbuhkan keberaniannya untuk mengetahui. Ia tidak ingin sepanjang hayatnya diteror oleh kegelapan. Maka, ia mencoba menyibak apa yang terjadi dalam kegelapan, apa di balik sebuah misteri, sebuah mitos. “Saya coba sikapi dengan mengganti rasa takut dengan rasa ingin tahu,  menggali lebih dalam dan mendasar. Kata kunci yang kemudian saya temukan adalah natural mystic,” ungkap Agung.
            Natural Mystic, karenanya, bagi Agung adalah sebuah jawaban atas rasa takut. Ia adalah eksplorasi akan kegelapan, misteri dan mitos yang banyak menyelimuti dunia sehari-hari kita. Inilah inti yang tampaknya ingin disampaikan Agung melalui karya-karya grafisnya yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta,  tanggal 17-27 Oktober 2013.
                                                                                           Permainan Simbol
            Natual Mystic yang menjadi judul pameran ini adalah karya Agung Prabowo berupa 28 fragmen lukisan hasil cetak dengan teknik cukil lino. Kurator pameran, Aminudin TH Siregar, menyebut teknik grafis yang digunakan Agung sebagai cukil habis (reduction-print). Yakni metode cetak yang mampu menghasilkan cetakan bermacam warna dengan memanfaatkan satu plat cetak. Teknik ini pernah digunakan Picasso dalam seni grafis yang dirintisnya tahun 1950an.

Behind The Curtain 10, seni grafis, karya Agung Prabowo
Dengan teknik ini gambar-gambar hasil cetak karya Agung tampak penuh warna. Bukan hanya warna-warna solid, tetapi juga gradasi yang lembut. Hal ini terlihat pada karya-karyanya seperti “Nircintraka”, “Nirbaya Jagratara”, “Family Matters” dan “Don’t Mind the Man Behind The Curtain” yang merupakan satu serial tema terdiri dari 10 fragmen.
Di luar persoalan teknis cetak, tema-tema yang dihadirkan Agung dalam lukisan grafisnya sangat menarik. Agung – yang lebih suka mengenalkan dirinya sebagai Agugn – menggunakan berbagai simbol untuk mengungkap misteri alam. Jendela dengan tirai yang terbuka sering digunakan sebagai bingkai yang mengerangkai berbagai objek di dalamnya. Sepuluh fragmen dalam “Don’t Mind the Man Behind The Curtain” memanfaatkan bingkai jendela dan tirai. Jendela dengan tirai yang terbuka bisa ditafsirkan sebagai hasrat untuk menemukan, keinginan untuk mengetahui lebih banyak, melihat ke luar lebih jauh, atau sebaliknya melihat ke dalam lebih dekat.
 Melalui jendela yang terbuka Agung menghadirkan ketenangan laut yang misterius (“Behind The Curtain 3”),  gunung dan daratan biru dengan langit merah jambu (“Behind The Curtin 8”), dua pasang kaki yang menyeruak dari dalam kamar dengan sebilah pisau di tengah ruang (“Behind The Curtain 10”), atau ruang bawah tanah dan lorong yang dingin (“Behind The Curtain 7”).
Natural Mystic 14, seni grafis, karya Agung Prabowo
Sementara itu, seri fragmen “Natural Mystic” banyak menghadirkan simbol-simbol berupa binatang dan tumbuhan seperti katak, burung, ulat, gurita, kelelawar, ular, buaya, sapi, kucing, bunga bangkai, buah pisang, tangkai tanaman, dan daun. Sosok binatang dan tumbuhan itu umumnya disajikan sebagai objek tunggal di atas bidang gambar, berupa kertas putih buatan tangan, tanpa warna atau bentuk-bentuk lain yang melatarbelakangi. Sehingga sosok-sosok binatang dan tanaman itu justru hadir sebagai bingkai dari objek-objek yang terlukis di dalamnya. “Natural Mystic 30” misalnya, menggambarkan seekor katak dalam posisi mengangkang simetris. Bagian perutnya yang terbuka membingkai dua gunung kembar dan bulan di atasnya. Sedangkan “Natural Mystic 5” menampilakn sosok gurita dengan bentuk-bentik geometris di bagian kepalanya, dan “Natural Mystic 14” berupa seekor kelelawar dengan kedua sayap membentang simetris, membingkai smbol-simbol bulan dan matahari yang terhubung oleh garis putus-putus yang membentuk belah ketupat.
Karya lainnya yang menarik dalam pameran ini yakni “Family Matters” yang menempatkan sosok sebuah keluarga – terdiri dari suami isteri dan seorang bocah – di tengah bidang gambar, dikepung aneka barang yang hadir dalam kehidupan sehari hari seperti mainan anak-anak, perabotan meja, kursi, tempat tidur, perlatan dapur dan pertukangan. Di bagian bawah bidang gambar terlihat dua dahan pohon yang  dipasang di sebelah kanan dan kiri secara simetris, sementara pada bagian tengah tampak sosok sebuah wajah yang terbentuk dari sepasang sendok garpu, piring makan, pisau dapur dan kue-kue coklat. “Family Matters” mengingatkan kita pada misteri kehidupan rumah tangga dengan segala macam problematikanya.
                                                                         Profil Agung Prabowo
            Agung Prabowo lahir di bandung, 8 Agustus 1985, lulus dari Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (FSRD-ITB) tahun 2010. Pada tahun 2012 Agung memenangkan juara pertama Triennale Seni Grafis Indonesia IV yang diselenggarakan galeri seni Bentara Budaya. Sejak masih kuliah ia aktif mengikuti pameran bersama di berbagai kota di Indonesia dan luar negeri. Pameran bersama yang terakhir diikuti yaitu “Subject Matters: A Locus Collectivism”, Art: 1 gallery, Jakarta, dan “Awagami International Miniature Print Exhibition 2013”, Inbe Art Space, Tokushima, Japan. Pameran “Natural Mystic” di Bentara Budaya Jakarta ini merupakan pameran tunggal pertama baginya. Rencananya, “Natural Mystic” juga akan digelar di Jogja, Soilo dan Bali.                              
           
 Tulisan sebelumnya:







Thursday, October 3, 2013

Membangkitkan Realisme Kebangsaan S Sudjojono

Oleh Winarto

"Makan Nasi" lukisan karya S Sudjojono
Lelaki yang berpenampilan sangat bersahaja itu tampak menikmati hidangan nasi dalam pincuk (piring dari daun pohon pisang). Pipinya menggembung karena mulutnya penuh makanan, sementara matanya terpejam mengekspresikan kenikmatan yang  dirasakan oleh lidahnya. Gambaran kesahajaan itulah yang bisa kita peroleh saat mengamati lukisan S Sudjojono yang berjudul “Makan Nasi”.

“Makan Nasi”  adalah satu dari belasan lukisan karya S Sudjojono yang dipajang di ruang pamer Galeri Nasional, Jakarta. Selama dua pekan sejak 21 September 2013 belasan lukisan Sudjojono bersama puluhan lukisan karya para pelukis lain dipamerkan di sini, sebagai bagian dari kegiatan memperingati seratus tahun kelahiran Sudjojono. Pameran mengambil tajuk “Jiwa Ketok dan Kebangsaan: S. Sudjojono, Persagi dan Kita”.

”Makan Nasi” merupakan contoh karya yang  mewakili pilihan ekspresi kesenian Sudjojono yaitu realisme. Lukisan lainnya yang disajikan dalam pameran dan sangat kuat menunjukkan semangat realisme Sudjojono yaitu “Ada Orkes”. Lukisan yang bertanda tahun 1970 menggambarkan suasana pertunjukan orkes di kampung yang cukup meriah. Ekspresi kerakyatan tampak sangat nyata dalam lukisan ini. Ekspresi kerakyatan juga tergambar dalam lukisannya “Cap Gomeh”.

"Cap Gomeh" lukisan karya S Sudjojono
Sudjojono memang dikenal dengan karya-karyanya yang mengangkat tema kerakyatan dan kebangsaan. Realisme kerakyatan dan kebangsaan ini merupakan pilihan berkesenian pelukis kelahiran Kisaran, Sumatera Utara, tahun 1913 ini dalam menanggapi arus jaman pada pra dan awal-awal kemerdekaan RI. Pilihan ekspresinya itu sekaligus juga menanggapi orientasi lukisan umumnya pada masa sebelumnya yang ia sebut sebagai mooi indie (Indonesia molek). Mooi indie disebut Soedjojono sebagai kecenderungan lukisan yang hanya menggambarkan citra keindahan alam Indonesia saat itu. Menurut Soedjojono, lukisan-lukisan mooi indie tidak menggambarkan realitas masyarakat pada masa itu yang sedang berjuang menghadapi kolonialisme, kemiskinan dan kebodohan.

“Kalau seorang seniman membuat suatu karya kesenian, maka sesungguh karya kesenian itu adalah jiwanya sendiri yang tampak. Kesenian adalah jiwa ketok (Jawa: ketok berarti tampak atau kelihatan),” ungkap Sudjojono dalam beberapa tulisannya.

                                                  Realisme Kerakyatan dan Kebangsaan Kini

Realisme kebangsaan dan kerakyatan Sudjojono telah mewarnai arah perjalanan seni rupa Indonesia. Soedjojono sendiri bahkan dinobatkan sebagai Bapak Senirupa Modern Indonesia. Selain aktif berkarya, Sudjojono juga giat menulis dan berorganisasi. Bersama beberapa seniman seangkatannya, pada tahun 1937 ia mendirikan Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yang merupakan organisasi bagi para perupa di tanah air.

"Legiun Veteran" lukisan karya Agung Mangu Putra
Setelah kemerdekaan RI, Soedjojono masih terus berkarya dan konsisten dengan aliran realisnya. Ia meninggal pada tahun 1986. Kini setelah duapuluh tujuh tahun sepeninggal Sudjojono realisme kebangsaan dan kerakyatan itu coba dibangkitkan melalui pameran di Galeri Nasional ini.

Selain lukisan Sudjojono, juga ditampilkan lukisan beberapa artis Persagi seperti  Agus Djaja, Otto Djaja dan Emiria Soenassa. Di luar itu, belasan pelukis kontemporer diundang berpartisipasi dalam pameran ini, seperti Agung Mangu Putra, Asmudjo J Irianto, Entang Wiharso, Isa Perkasa, Ivan Sagita, Nasirun, Nyoman Erawan, dan Seruni Bodjawati.

Para seniman kontemporer yang terpaut beberapa angkatan dari Sudjojono itu mencoba menafsirkan gagasan realisme kerakyatan dan kebangsaan Sudjojono sesuai tema pameran. Tidak semua berhasil dengan baik. Satu karya yang paling kuat menggambarkan realisme kerakyatan dan kebangsaan Sudjojono yaitu “Legiun Veteran” karya Agung Mangu Putra. “Legiun Veteran” menggambarkan wajah seorang anggota veteran dengan baju seragam militer dan topi khas. Wajah veteran tua itu begitu keras, dengan beberapa gores luka, sementara bola matanya mulai kabur tertutup katarak. Tapi pandangannya lurus ke depan. “Legiun Veteran” seperti mewakili semangat “jiwa ketok” Sudjojono yang tak pernah merasa kalah dalam menghadapi arus jaman.


"Di Dalam Kelambu tertutup" karya Nasirun
Beberapa seniman mencoba menafsir ulang secara parodik ucapan dan karya-karya Sudjojono. Antara lain “Di Dalam Kelambu Tertutup” karya Nasirun yang mengingatkan kita pada lukisan Sudjojono, “Di Depan Kelambu Terbuka” (1939). Sedangkan lukisan “Aku Tidak Tahu Kemana Seni Akan Kamu Bawa” karya Sigit Santosa membuat kita tersenyum kecut, karena mengingatkan kita pada ucapan Sudjojono yang terkenal yakni “Kami tahu kemana seni lukis Indonesia akan kami bawa”. Ucapan Sudjojono itu sebagai respons atas penilaian para pengamat seni di negara-negara Eropa yang cenderung merendahkan kualitas seni rupa di Indonesia kala itu.