Oleh Winarto
"Makan Nasi" lukisan karya S Sudjojono |
Lelaki yang berpenampilan sangat bersahaja itu tampak
menikmati hidangan nasi dalam pincuk (piring dari daun pohon pisang). Pipinya
menggembung karena mulutnya penuh makanan, sementara matanya terpejam mengekspresikan
kenikmatan yang dirasakan oleh lidahnya.
Gambaran kesahajaan itulah yang bisa kita peroleh saat mengamati lukisan S Sudjojono yang berjudul “Makan Nasi”.
“Makan Nasi” adalah satu dari belasan lukisan karya S
Sudjojono yang dipajang di ruang pamer Galeri Nasional, Jakarta. Selama dua
pekan sejak 21 September 2013 belasan lukisan Sudjojono bersama puluhan lukisan
karya para pelukis lain dipamerkan di sini, sebagai bagian dari kegiatan
memperingati seratus tahun kelahiran Sudjojono. Pameran mengambil tajuk “Jiwa Ketok dan Kebangsaan: S.
Sudjojono, Persagi dan Kita”.
”Makan Nasi” merupakan contoh karya yang mewakili pilihan ekspresi kesenian Sudjojono
yaitu realisme. Lukisan lainnya yang disajikan dalam pameran dan sangat kuat
menunjukkan semangat realisme Sudjojono yaitu “Ada Orkes”. Lukisan yang
bertanda tahun 1970 menggambarkan suasana pertunjukan orkes di kampung yang
cukup meriah. Ekspresi kerakyatan tampak sangat nyata dalam lukisan ini. Ekspresi
kerakyatan juga tergambar dalam lukisannya “Cap Gomeh”.
"Cap Gomeh" lukisan karya S Sudjojono |
Sudjojono memang dikenal dengan karya-karyanya
yang mengangkat tema kerakyatan dan kebangsaan. Realisme kerakyatan dan
kebangsaan ini merupakan pilihan berkesenian pelukis kelahiran Kisaran,
Sumatera Utara, tahun 1913 ini dalam menanggapi arus jaman pada pra dan
awal-awal kemerdekaan RI. Pilihan ekspresinya itu sekaligus juga menanggapi
orientasi lukisan umumnya pada masa sebelumnya yang ia sebut sebagai mooi indie
(Indonesia molek). Mooi indie disebut Soedjojono sebagai kecenderungan
lukisan yang hanya menggambarkan citra keindahan alam Indonesia saat itu.
Menurut Soedjojono, lukisan-lukisan mooi indie tidak menggambarkan
realitas masyarakat pada masa itu yang sedang berjuang menghadapi kolonialisme,
kemiskinan dan kebodohan.
“Kalau seorang seniman membuat suatu karya
kesenian, maka sesungguh karya kesenian itu adalah jiwanya sendiri yang tampak.
Kesenian adalah jiwa ketok (Jawa: ketok berarti tampak atau kelihatan),” ungkap
Sudjojono dalam beberapa tulisannya.
Realisme
Kerakyatan dan Kebangsaan Kini
Realisme kebangsaan dan kerakyatan Sudjojono telah
mewarnai arah perjalanan seni rupa Indonesia. Soedjojono sendiri bahkan
dinobatkan sebagai Bapak Senirupa Modern Indonesia. Selain aktif berkarya,
Sudjojono juga giat menulis dan berorganisasi. Bersama beberapa seniman
seangkatannya, pada tahun 1937 ia mendirikan Persagi (Persatuan Ahli Gambar
Indonesia) yang merupakan organisasi bagi para perupa di tanah air.
"Legiun Veteran" lukisan karya Agung Mangu Putra |
Setelah kemerdekaan RI, Soedjojono masih terus
berkarya dan konsisten dengan aliran realisnya. Ia meninggal pada tahun 1986. Kini
setelah duapuluh tujuh tahun sepeninggal Sudjojono realisme kebangsaan dan
kerakyatan itu coba dibangkitkan melalui pameran di Galeri Nasional ini.
Selain lukisan Sudjojono, juga ditampilkan lukisan
beberapa artis Persagi seperti Agus Djaja, Otto Djaja dan Emiria Soenassa. Di luar itu, belasan pelukis kontemporer
diundang berpartisipasi dalam pameran ini, seperti Agung Mangu Putra, Asmudjo J
Irianto, Entang Wiharso, Isa Perkasa, Ivan Sagita, Nasirun, Nyoman Erawan, dan
Seruni Bodjawati.
Para seniman kontemporer yang terpaut beberapa
angkatan dari Sudjojono itu mencoba menafsirkan gagasan realisme kerakyatan dan
kebangsaan Sudjojono sesuai tema pameran. Tidak semua berhasil dengan baik.
Satu karya yang paling kuat menggambarkan realisme kerakyatan dan kebangsaan Sudjojono
yaitu “Legiun Veteran” karya Agung Mangu Putra. “Legiun Veteran” menggambarkan
wajah seorang anggota veteran dengan baju seragam militer dan topi khas. Wajah
veteran tua itu begitu keras, dengan beberapa gores luka, sementara bola
matanya mulai kabur tertutup katarak. Tapi pandangannya lurus ke depan. “Legiun
Veteran” seperti mewakili semangat “jiwa ketok” Sudjojono yang tak pernah
merasa kalah dalam menghadapi arus jaman.
"Di Dalam Kelambu tertutup" karya Nasirun |
Beberapa seniman mencoba menafsir ulang secara
parodik ucapan dan karya-karya Sudjojono. Antara lain “Di Dalam Kelambu Tertutup”
karya Nasirun yang mengingatkan kita pada lukisan Sudjojono, “Di Depan Kelambu
Terbuka” (1939). Sedangkan lukisan “Aku Tidak Tahu Kemana Seni Akan Kamu Bawa”
karya Sigit Santosa membuat kita tersenyum kecut, karena mengingatkan kita pada
ucapan Sudjojono yang terkenal yakni “Kami tahu kemana seni lukis Indonesia
akan kami bawa”. Ucapan Sudjojono itu sebagai respons atas penilaian para
pengamat seni di negara-negara Eropa yang cenderung merendahkan kualitas seni
rupa di Indonesia kala itu.
No comments:
Post a Comment