Thursday, October 3, 2013

Membangkitkan Realisme Kebangsaan S Sudjojono

Oleh Winarto

"Makan Nasi" lukisan karya S Sudjojono
Lelaki yang berpenampilan sangat bersahaja itu tampak menikmati hidangan nasi dalam pincuk (piring dari daun pohon pisang). Pipinya menggembung karena mulutnya penuh makanan, sementara matanya terpejam mengekspresikan kenikmatan yang  dirasakan oleh lidahnya. Gambaran kesahajaan itulah yang bisa kita peroleh saat mengamati lukisan S Sudjojono yang berjudul “Makan Nasi”.

“Makan Nasi”  adalah satu dari belasan lukisan karya S Sudjojono yang dipajang di ruang pamer Galeri Nasional, Jakarta. Selama dua pekan sejak 21 September 2013 belasan lukisan Sudjojono bersama puluhan lukisan karya para pelukis lain dipamerkan di sini, sebagai bagian dari kegiatan memperingati seratus tahun kelahiran Sudjojono. Pameran mengambil tajuk “Jiwa Ketok dan Kebangsaan: S. Sudjojono, Persagi dan Kita”.

”Makan Nasi” merupakan contoh karya yang  mewakili pilihan ekspresi kesenian Sudjojono yaitu realisme. Lukisan lainnya yang disajikan dalam pameran dan sangat kuat menunjukkan semangat realisme Sudjojono yaitu “Ada Orkes”. Lukisan yang bertanda tahun 1970 menggambarkan suasana pertunjukan orkes di kampung yang cukup meriah. Ekspresi kerakyatan tampak sangat nyata dalam lukisan ini. Ekspresi kerakyatan juga tergambar dalam lukisannya “Cap Gomeh”.

"Cap Gomeh" lukisan karya S Sudjojono
Sudjojono memang dikenal dengan karya-karyanya yang mengangkat tema kerakyatan dan kebangsaan. Realisme kerakyatan dan kebangsaan ini merupakan pilihan berkesenian pelukis kelahiran Kisaran, Sumatera Utara, tahun 1913 ini dalam menanggapi arus jaman pada pra dan awal-awal kemerdekaan RI. Pilihan ekspresinya itu sekaligus juga menanggapi orientasi lukisan umumnya pada masa sebelumnya yang ia sebut sebagai mooi indie (Indonesia molek). Mooi indie disebut Soedjojono sebagai kecenderungan lukisan yang hanya menggambarkan citra keindahan alam Indonesia saat itu. Menurut Soedjojono, lukisan-lukisan mooi indie tidak menggambarkan realitas masyarakat pada masa itu yang sedang berjuang menghadapi kolonialisme, kemiskinan dan kebodohan.

“Kalau seorang seniman membuat suatu karya kesenian, maka sesungguh karya kesenian itu adalah jiwanya sendiri yang tampak. Kesenian adalah jiwa ketok (Jawa: ketok berarti tampak atau kelihatan),” ungkap Sudjojono dalam beberapa tulisannya.

                                                  Realisme Kerakyatan dan Kebangsaan Kini

Realisme kebangsaan dan kerakyatan Sudjojono telah mewarnai arah perjalanan seni rupa Indonesia. Soedjojono sendiri bahkan dinobatkan sebagai Bapak Senirupa Modern Indonesia. Selain aktif berkarya, Sudjojono juga giat menulis dan berorganisasi. Bersama beberapa seniman seangkatannya, pada tahun 1937 ia mendirikan Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yang merupakan organisasi bagi para perupa di tanah air.

"Legiun Veteran" lukisan karya Agung Mangu Putra
Setelah kemerdekaan RI, Soedjojono masih terus berkarya dan konsisten dengan aliran realisnya. Ia meninggal pada tahun 1986. Kini setelah duapuluh tujuh tahun sepeninggal Sudjojono realisme kebangsaan dan kerakyatan itu coba dibangkitkan melalui pameran di Galeri Nasional ini.

Selain lukisan Sudjojono, juga ditampilkan lukisan beberapa artis Persagi seperti  Agus Djaja, Otto Djaja dan Emiria Soenassa. Di luar itu, belasan pelukis kontemporer diundang berpartisipasi dalam pameran ini, seperti Agung Mangu Putra, Asmudjo J Irianto, Entang Wiharso, Isa Perkasa, Ivan Sagita, Nasirun, Nyoman Erawan, dan Seruni Bodjawati.

Para seniman kontemporer yang terpaut beberapa angkatan dari Sudjojono itu mencoba menafsirkan gagasan realisme kerakyatan dan kebangsaan Sudjojono sesuai tema pameran. Tidak semua berhasil dengan baik. Satu karya yang paling kuat menggambarkan realisme kerakyatan dan kebangsaan Sudjojono yaitu “Legiun Veteran” karya Agung Mangu Putra. “Legiun Veteran” menggambarkan wajah seorang anggota veteran dengan baju seragam militer dan topi khas. Wajah veteran tua itu begitu keras, dengan beberapa gores luka, sementara bola matanya mulai kabur tertutup katarak. Tapi pandangannya lurus ke depan. “Legiun Veteran” seperti mewakili semangat “jiwa ketok” Sudjojono yang tak pernah merasa kalah dalam menghadapi arus jaman.


"Di Dalam Kelambu tertutup" karya Nasirun
Beberapa seniman mencoba menafsir ulang secara parodik ucapan dan karya-karya Sudjojono. Antara lain “Di Dalam Kelambu Tertutup” karya Nasirun yang mengingatkan kita pada lukisan Sudjojono, “Di Depan Kelambu Terbuka” (1939). Sedangkan lukisan “Aku Tidak Tahu Kemana Seni Akan Kamu Bawa” karya Sigit Santosa membuat kita tersenyum kecut, karena mengingatkan kita pada ucapan Sudjojono yang terkenal yakni “Kami tahu kemana seni lukis Indonesia akan kami bawa”. Ucapan Sudjojono itu sebagai respons atas penilaian para pengamat seni di negara-negara Eropa yang cenderung merendahkan kualitas seni rupa di Indonesia kala itu.

No comments:

Post a Comment