Saturday, May 28, 2011

Pameran Cukil Kayu Irwanto Lentho


Selama sepuluh hari, dari tanggal 26 Mei hingga 4 Juni 2011, perupa Irwanto Lentho menggelar karya-karyanya berupa seni grafis cukil kayu di Bentara Budaya Jakarta. Seni grafis cukil kayu (xylography) adalah teknis grafis dengan memanfaatkan kayu yang dipahat sebagai sarana untuk menghasilkan gambar di atas kanvas. Semula gambar dibuat di atas kayu – sekarang lebih banyak digunakan hardbord sebagai ganti kayu – kemudian dipahat. Bagian yang akan dicetak tetap sejajar dengan permukaan kayu/papan, sedangkan yang tidak akan dimunculkan dalam cetakan dicukil. Pencetakan di atas kanvas dilakukan dengan teknik pointilis dan stensil.

Irwanto Lentho lahir di Sukharjo, Jawa Tengah, 4 April 1979. Sejumlah penghargaan telah diraihnya antara lain Finalis Philip Moris Art Awards 2001, Finalis Trienal Seni Grafis II Indonesia 2006, Karya Terbaik ke-2 Trienal Seni Grafis Indonesia III 2009. Dalam pameran kali ini, bertindak sebagai kurator yakni Aminuddin Th Siregar.


Friday, May 27, 2011

Heri Dono, Mengangkat Tradisi dalam Seni Kontemporer

Siapa lagi seniman lukis besar Indonesia yang dikenal luas oleh dunia internasional setelah Raden Saleh, Affandi dan Sudjojono? Ada sejumlah nama antara lain Heri Dono, Agus Suwage, Dede Eri Supria, Tisna Sanjaya dan Eddie Hara. Mereka bisa dikatakan satu angkatan yang mulai menunjukkan kekuatan karyanya pada tahun-tahun 1980-an. Mereka juga menggeluti seni kontemporer dengan kekhasan masing-masing baik dalam penggunaan medium ekspresi dan pendekatan filosofis dalam karya-karya mereka. Heri Dono adalah yang termuda di antara mereka, namun dengan catatan prestasi sangat mengesankan.

Heri Dono lahir di Jakarta, 1960, memperoleh pendidikan seni lukis di Yogyakarta. Sejak kuliah dan lulus dari ISI Yogya ia memilih menetap di kota kebudayaan itu.

Jejak kariernya di dunia internasional dimulai pada tahun 1990-1991 ketika mengikuti International Artist Exchange Program di Basel, Swiss. Ketika itu ia sempat menggelar pameran tunggal di Museum Der Kulturen, Basel, dengan tajuk “Unknown Dimensions”. Sejak itu Heri yang menyandang berbagai penghargaan seni ini laris diundang mengikuti pameran di berbagai negara.

Hingga sekarang Heri telah mengikuti sedikitnya 50 acara pesta seni bienale/trienal (biennials/triennials) di berbagai negara. Di antaranya Gwangju Biennale, Gwangju, South Korea (2006), Bienale Internazionale Dell’ Arte Contemporania di Fortezza da Basso, Firenze, Italia (2005), Zone of Urgency, Venice Biennieal, Italia (2003), Asia Pasific Triennial, Queensland Art Gallery, Brisbane, Australia (2002) Yokohama Triennial, Yokohama, Japan (2001).

Berbagai penghargaan nasional dan internasional yang diperolehnya semakin mengukuhkan pengakuan dunia terhadap kiprah Heri Dono dalam jagad senirupa kontemporer. Beberapa penghargaan itu di antaranya Academic Art Awards, Professional Artist, Program A-2, FSR ISI Yogyakarta dan Jogja Gallerry, Yogyakarta, Indonesia, Second Annual Enku Grand Awards, Gifu Perfectural Government, Japan, Unesco Prize for the International Art Biennal, Shanghai, China, dan Prince Claus Award, in Recognition of Exeptional Initiatives and Activities in the Filed of Art and Development, The Netherlands.

Heri Dono dikenal dengan karya-karyanya yang berbasis seni tradisi, khususnya seni wayang kulit yang sangat populer dalam masyarakat Jawa. Wayang kulit adalah seni pertunjukan ‘bayang-bayang’ dengan para tokohnya terbuat dari kulit binatang (kerbau). Dalam pentas wayang kulit para tokoh tersebut diproyeksikan ke sebuah layar berupa kain panjang sehingga membentuk bayang-bayang. Kata ‘wayang’ sendiri berarti bayangan. Pentas wayang kulit memadukan seni teater, musik, nyanyian, dan ceritera yang biasanya diambil dari epos Mahabarata dan Ramayana.

Sebagai perupa Heri Dono dalam mengekspresikan ide-idenya banyak mengeksplorasi rupa atau bentuk dan karakter dari tokoh-tokoh dunia peawayangan. Khususnya Heri lebih suka menggambarkan sosok panakawan yang dalam jagat pewayangan mewakili rakyat jelata yang hidup dalam kesederhanaan, senantiasa mengikuti pihak yang benar, dan kritis terhadap perilaku penguasa. Agaknya Heri ingin mengatakan bahwa peran seorang seniman tak ubahnya peran panakawan dalam dunia pewayangan. Yakni menghibur sekaligus menawarkan kritik terhadap lingkungan sekitarnya dan kekuasaan.

Karya-karya Heri Dono baik berupa lukisan, instalasi, maupun seni pertunjukan senantiasa mengandung kritik sosial, mencakup beragam persoalan dalam spektrum sangat luas, mulai dari masalah sosial, politik, kebudayaan, lingkungan dan perkembangan teknologi. Masalah-masalah itu ditampilkan secara karikatural, satir, dan parodikal.

Unsur humor merupakan ciri khas karya-karya Heri Dono. Dalam wawancara dengan seorang wartawan, Larry Polansky, usai menggelar karya instalasinya di kota kecil Harima, Jepang, Heri menjelaskan konsep humor dalam setiap karyanya. Menurutnya, seperti dalam seni teater tradisional Jawa ‘Ketoprak’, atau pentas lawak Srimulat, dan wayang, kehadiran pembantu yang lucu seperti panakawan sangat diperlukan. Keberadaan mereka penting untuk menyampaikan kritik dengan cara yang lucu terhadap kelompok masyarakat yang lebih tinggi derajatnya.

Wednesday, May 25, 2011

Sudjojono, Antara Seni dan Politik


Dikenal sebagai bapak seni lukis modern Indonesia, S Sudjojono sekaligus juga seorang pejuang kemerdekaan yang menggunakan jalur kesenian sebagai sarana perjuangan. Seni bagi Sudjojono bukan sesuatu yang bebas nilai. Seni bukan untuk seni itu sendiri, melainkan seni untuk masyarakat. Melalui seni Sudjojono melibatkan diri dalam aksi-aksi memperjuangkan kemerdekaan, membangun semangat nasionalisme.

Lahir di Kisaran, Sumatera Utara, Desember 1913, Soedjojono kecil dengan bakat melukisnya yang kuat telah memikat perhatian gurunya di sekolah rendah. Maka oleh gurunya, Yudhokusumo, ia diambil anak angkat dan diajak ke Jakarta. Sudjojono belajar melukis secara otodidak. Pendidikan formalnya adalah Sekolah Guru di Lembang, Jawa Barat. Ia pun sempat bekerja sebagai guru di lembaga pendidikan tersebut.

Namun bakat melukisnya lebih menariknya untuk berkarir. Sebagai seniman, Sudjojono juga seorang pemikir dan organisatoris. Pada tahun 1937 ia bersama sejumlah pelukis seperti Affandi, dan Hendra Gunawan, mendirikan Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) di Jakarta, untuk menampung dan mengembangkan kreativitas para pelukis saat itu. Ia juga terlibat dalam berbagai organisasi pemuda dan turut memperjuangkan kemerdekaan melalui aktivitas kesenian. Bersama Affandi dan Hendra Gunawan, Sudjojono membuat poster-poster protes atas kolonialisme dan ajakan kepada para pemuda memperjuangkan kemerdekaan. Karena aktivitas politiknya itu, ia cukup dekat dengan para tokoh pergerakan termasuk Sukarno yang kemudian menjadi Presiden RI.

Pasca kemerdekaan, Sudjojono sempat menjadi anggota parlemen dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun karena tidak cocok dengan kultur birokrasi partai, ia mengundurkan diri dan secara resmi dipecat dari keanggotaan PKI. Hal ini justru menyelamatkannya dari politik represif rezim Orde Baru pasca kerusuhan 1965.

Sesuai sikap kerakyatan dan nasionalismenya, Sudjojono setia menerapkan teknik realis dalam karya-karyanya. Memang pada awal-awal karirnya ia lebih memilih jalur ekspresionisme. Namun belakangan realisme sosial lebih menarik minatnya. Karya-karya Sudjojono banyak menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat. Ia juga banyak mencatat sejarah perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan dalam kanvasnya. Salah satu lukisannya yang spektakuler yaitu Pertempuran Sultan Agung dengan JP Coen yang kini dipajang di Museum Sejarah Jakarta. Untuk membuat lukisan itu Soedjojono melakukan riset dengan keluar masuk museum dan membuka-buka catatan sejarah. Lukisan itu berhasil diselesaikan dalam waktu tujuh bulan pada tahun 1973. Sultan Agung adalah raja Mataram yang menyerang pemerintahan kolonial di Batavia pada tahun 1628-1629.

Sebagai pemikir kebudayaan, senirupa khususnya, Sudjojono banyak menulis dan menyebarkan gagasan-gagasan baru. Buah pikirannya mempengaruhi perkembangan senirupa di Indonesia. Itulah sebabnya ia pantas dianggap sebagai bapak senirupa modern Indonesia. Kumpulan tulisannya kini telah dibukukan dengan judul Seni Lukis, Kesenian dan Seniman, diterbitkan ulang oleh Yayasan Aksara, Yogyakarta, 2000.

Sudjojono meninggal pada tahun 1986, namun karya-karyanya hingga kini masih dicari banyak kolektor dunia dengan harga mencapai ratusan juta rupiah.