Monday, October 21, 2013

Pameran Seni Grafis Natural Mystic

Agung Prabowo Menjawab Rasa Takut


Oleh Winarto


Family Matters, seni grafis, karya Agung Prabowo
Ketidak-tahuan adalah sumber ketakutan. Ketakutan karena ketidak-tahuan adalah hal manusiawi, dialami oleh hampir semua orang. Kita takut akan gelap, karena kita tidak tahu apa yang ada dalam kegelapan itu. Banyak orang mengalami ketakutan tanpa henti, karena ia tidak pernah berusaha menyimak kegelapan untuk mengetahui apa yang terjadi.
Ketakutan seperti inilah yang dirasakan Agung Prabowo, ketika ia mulai menapaki fase baru dalam perjalanan hidupnya yakni sebagai seorang ayah. Ketakutannya bersumber pada kebutaannya tentang berbagai misteri dan mitos; tentang proses bagaimana seorang janin tumbuh dan berkembang di dalam kandungan, bagaimana sang ibu harus berjuang menghadapi proses kelahiran sang anak. Juga, tentang pamali atau pantangan yang menyertai tumbuh kembang anak.
Ia mengaku takut, karena tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun, pada suatu titik, Agung berhasil mengatasi rasa takut karena ketidak-tahuannya itu dengan menumbuhkan keberaniannya untuk mengetahui. Ia tidak ingin sepanjang hayatnya diteror oleh kegelapan. Maka, ia mencoba menyibak apa yang terjadi dalam kegelapan, apa di balik sebuah misteri, sebuah mitos. “Saya coba sikapi dengan mengganti rasa takut dengan rasa ingin tahu,  menggali lebih dalam dan mendasar. Kata kunci yang kemudian saya temukan adalah natural mystic,” ungkap Agung.
            Natural Mystic, karenanya, bagi Agung adalah sebuah jawaban atas rasa takut. Ia adalah eksplorasi akan kegelapan, misteri dan mitos yang banyak menyelimuti dunia sehari-hari kita. Inilah inti yang tampaknya ingin disampaikan Agung melalui karya-karya grafisnya yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta,  tanggal 17-27 Oktober 2013.
                                                                                           Permainan Simbol
            Natual Mystic yang menjadi judul pameran ini adalah karya Agung Prabowo berupa 28 fragmen lukisan hasil cetak dengan teknik cukil lino. Kurator pameran, Aminudin TH Siregar, menyebut teknik grafis yang digunakan Agung sebagai cukil habis (reduction-print). Yakni metode cetak yang mampu menghasilkan cetakan bermacam warna dengan memanfaatkan satu plat cetak. Teknik ini pernah digunakan Picasso dalam seni grafis yang dirintisnya tahun 1950an.

Behind The Curtain 10, seni grafis, karya Agung Prabowo
Dengan teknik ini gambar-gambar hasil cetak karya Agung tampak penuh warna. Bukan hanya warna-warna solid, tetapi juga gradasi yang lembut. Hal ini terlihat pada karya-karyanya seperti “Nircintraka”, “Nirbaya Jagratara”, “Family Matters” dan “Don’t Mind the Man Behind The Curtain” yang merupakan satu serial tema terdiri dari 10 fragmen.
Di luar persoalan teknis cetak, tema-tema yang dihadirkan Agung dalam lukisan grafisnya sangat menarik. Agung – yang lebih suka mengenalkan dirinya sebagai Agugn – menggunakan berbagai simbol untuk mengungkap misteri alam. Jendela dengan tirai yang terbuka sering digunakan sebagai bingkai yang mengerangkai berbagai objek di dalamnya. Sepuluh fragmen dalam “Don’t Mind the Man Behind The Curtain” memanfaatkan bingkai jendela dan tirai. Jendela dengan tirai yang terbuka bisa ditafsirkan sebagai hasrat untuk menemukan, keinginan untuk mengetahui lebih banyak, melihat ke luar lebih jauh, atau sebaliknya melihat ke dalam lebih dekat.
 Melalui jendela yang terbuka Agung menghadirkan ketenangan laut yang misterius (“Behind The Curtain 3”),  gunung dan daratan biru dengan langit merah jambu (“Behind The Curtin 8”), dua pasang kaki yang menyeruak dari dalam kamar dengan sebilah pisau di tengah ruang (“Behind The Curtain 10”), atau ruang bawah tanah dan lorong yang dingin (“Behind The Curtain 7”).
Natural Mystic 14, seni grafis, karya Agung Prabowo
Sementara itu, seri fragmen “Natural Mystic” banyak menghadirkan simbol-simbol berupa binatang dan tumbuhan seperti katak, burung, ulat, gurita, kelelawar, ular, buaya, sapi, kucing, bunga bangkai, buah pisang, tangkai tanaman, dan daun. Sosok binatang dan tumbuhan itu umumnya disajikan sebagai objek tunggal di atas bidang gambar, berupa kertas putih buatan tangan, tanpa warna atau bentuk-bentuk lain yang melatarbelakangi. Sehingga sosok-sosok binatang dan tanaman itu justru hadir sebagai bingkai dari objek-objek yang terlukis di dalamnya. “Natural Mystic 30” misalnya, menggambarkan seekor katak dalam posisi mengangkang simetris. Bagian perutnya yang terbuka membingkai dua gunung kembar dan bulan di atasnya. Sedangkan “Natural Mystic 5” menampilakn sosok gurita dengan bentuk-bentik geometris di bagian kepalanya, dan “Natural Mystic 14” berupa seekor kelelawar dengan kedua sayap membentang simetris, membingkai smbol-simbol bulan dan matahari yang terhubung oleh garis putus-putus yang membentuk belah ketupat.
Karya lainnya yang menarik dalam pameran ini yakni “Family Matters” yang menempatkan sosok sebuah keluarga – terdiri dari suami isteri dan seorang bocah – di tengah bidang gambar, dikepung aneka barang yang hadir dalam kehidupan sehari hari seperti mainan anak-anak, perabotan meja, kursi, tempat tidur, perlatan dapur dan pertukangan. Di bagian bawah bidang gambar terlihat dua dahan pohon yang  dipasang di sebelah kanan dan kiri secara simetris, sementara pada bagian tengah tampak sosok sebuah wajah yang terbentuk dari sepasang sendok garpu, piring makan, pisau dapur dan kue-kue coklat. “Family Matters” mengingatkan kita pada misteri kehidupan rumah tangga dengan segala macam problematikanya.
                                                                         Profil Agung Prabowo
            Agung Prabowo lahir di bandung, 8 Agustus 1985, lulus dari Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (FSRD-ITB) tahun 2010. Pada tahun 2012 Agung memenangkan juara pertama Triennale Seni Grafis Indonesia IV yang diselenggarakan galeri seni Bentara Budaya. Sejak masih kuliah ia aktif mengikuti pameran bersama di berbagai kota di Indonesia dan luar negeri. Pameran bersama yang terakhir diikuti yaitu “Subject Matters: A Locus Collectivism”, Art: 1 gallery, Jakarta, dan “Awagami International Miniature Print Exhibition 2013”, Inbe Art Space, Tokushima, Japan. Pameran “Natural Mystic” di Bentara Budaya Jakarta ini merupakan pameran tunggal pertama baginya. Rencananya, “Natural Mystic” juga akan digelar di Jogja, Soilo dan Bali.                              
           
 Tulisan sebelumnya:







Thursday, October 3, 2013

Membangkitkan Realisme Kebangsaan S Sudjojono

Oleh Winarto

"Makan Nasi" lukisan karya S Sudjojono
Lelaki yang berpenampilan sangat bersahaja itu tampak menikmati hidangan nasi dalam pincuk (piring dari daun pohon pisang). Pipinya menggembung karena mulutnya penuh makanan, sementara matanya terpejam mengekspresikan kenikmatan yang  dirasakan oleh lidahnya. Gambaran kesahajaan itulah yang bisa kita peroleh saat mengamati lukisan S Sudjojono yang berjudul “Makan Nasi”.

“Makan Nasi”  adalah satu dari belasan lukisan karya S Sudjojono yang dipajang di ruang pamer Galeri Nasional, Jakarta. Selama dua pekan sejak 21 September 2013 belasan lukisan Sudjojono bersama puluhan lukisan karya para pelukis lain dipamerkan di sini, sebagai bagian dari kegiatan memperingati seratus tahun kelahiran Sudjojono. Pameran mengambil tajuk “Jiwa Ketok dan Kebangsaan: S. Sudjojono, Persagi dan Kita”.

”Makan Nasi” merupakan contoh karya yang  mewakili pilihan ekspresi kesenian Sudjojono yaitu realisme. Lukisan lainnya yang disajikan dalam pameran dan sangat kuat menunjukkan semangat realisme Sudjojono yaitu “Ada Orkes”. Lukisan yang bertanda tahun 1970 menggambarkan suasana pertunjukan orkes di kampung yang cukup meriah. Ekspresi kerakyatan tampak sangat nyata dalam lukisan ini. Ekspresi kerakyatan juga tergambar dalam lukisannya “Cap Gomeh”.

"Cap Gomeh" lukisan karya S Sudjojono
Sudjojono memang dikenal dengan karya-karyanya yang mengangkat tema kerakyatan dan kebangsaan. Realisme kerakyatan dan kebangsaan ini merupakan pilihan berkesenian pelukis kelahiran Kisaran, Sumatera Utara, tahun 1913 ini dalam menanggapi arus jaman pada pra dan awal-awal kemerdekaan RI. Pilihan ekspresinya itu sekaligus juga menanggapi orientasi lukisan umumnya pada masa sebelumnya yang ia sebut sebagai mooi indie (Indonesia molek). Mooi indie disebut Soedjojono sebagai kecenderungan lukisan yang hanya menggambarkan citra keindahan alam Indonesia saat itu. Menurut Soedjojono, lukisan-lukisan mooi indie tidak menggambarkan realitas masyarakat pada masa itu yang sedang berjuang menghadapi kolonialisme, kemiskinan dan kebodohan.

“Kalau seorang seniman membuat suatu karya kesenian, maka sesungguh karya kesenian itu adalah jiwanya sendiri yang tampak. Kesenian adalah jiwa ketok (Jawa: ketok berarti tampak atau kelihatan),” ungkap Sudjojono dalam beberapa tulisannya.

                                                  Realisme Kerakyatan dan Kebangsaan Kini

Realisme kebangsaan dan kerakyatan Sudjojono telah mewarnai arah perjalanan seni rupa Indonesia. Soedjojono sendiri bahkan dinobatkan sebagai Bapak Senirupa Modern Indonesia. Selain aktif berkarya, Sudjojono juga giat menulis dan berorganisasi. Bersama beberapa seniman seangkatannya, pada tahun 1937 ia mendirikan Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yang merupakan organisasi bagi para perupa di tanah air.

"Legiun Veteran" lukisan karya Agung Mangu Putra
Setelah kemerdekaan RI, Soedjojono masih terus berkarya dan konsisten dengan aliran realisnya. Ia meninggal pada tahun 1986. Kini setelah duapuluh tujuh tahun sepeninggal Sudjojono realisme kebangsaan dan kerakyatan itu coba dibangkitkan melalui pameran di Galeri Nasional ini.

Selain lukisan Sudjojono, juga ditampilkan lukisan beberapa artis Persagi seperti  Agus Djaja, Otto Djaja dan Emiria Soenassa. Di luar itu, belasan pelukis kontemporer diundang berpartisipasi dalam pameran ini, seperti Agung Mangu Putra, Asmudjo J Irianto, Entang Wiharso, Isa Perkasa, Ivan Sagita, Nasirun, Nyoman Erawan, dan Seruni Bodjawati.

Para seniman kontemporer yang terpaut beberapa angkatan dari Sudjojono itu mencoba menafsirkan gagasan realisme kerakyatan dan kebangsaan Sudjojono sesuai tema pameran. Tidak semua berhasil dengan baik. Satu karya yang paling kuat menggambarkan realisme kerakyatan dan kebangsaan Sudjojono yaitu “Legiun Veteran” karya Agung Mangu Putra. “Legiun Veteran” menggambarkan wajah seorang anggota veteran dengan baju seragam militer dan topi khas. Wajah veteran tua itu begitu keras, dengan beberapa gores luka, sementara bola matanya mulai kabur tertutup katarak. Tapi pandangannya lurus ke depan. “Legiun Veteran” seperti mewakili semangat “jiwa ketok” Sudjojono yang tak pernah merasa kalah dalam menghadapi arus jaman.


"Di Dalam Kelambu tertutup" karya Nasirun
Beberapa seniman mencoba menafsir ulang secara parodik ucapan dan karya-karya Sudjojono. Antara lain “Di Dalam Kelambu Tertutup” karya Nasirun yang mengingatkan kita pada lukisan Sudjojono, “Di Depan Kelambu Terbuka” (1939). Sedangkan lukisan “Aku Tidak Tahu Kemana Seni Akan Kamu Bawa” karya Sigit Santosa membuat kita tersenyum kecut, karena mengingatkan kita pada ucapan Sudjojono yang terkenal yakni “Kami tahu kemana seni lukis Indonesia akan kami bawa”. Ucapan Sudjojono itu sebagai respons atas penilaian para pengamat seni di negara-negara Eropa yang cenderung merendahkan kualitas seni rupa di Indonesia kala itu.

Wednesday, August 28, 2013

Tragedi Drupadi di Tangan F Widayanto

Pameran Patung Keramik Pandawa Diva

Oleh Winarto

"Dru vs Dur", patung keramik F Widayanto
Sosok perempuan muda jelita itu begitu menderita, berusaha mempertahankan kain penutup tubuhnya yang coba dibuka dan ditarik oleh seorang lelaki berwajah dingin dan kejam. Perempuan itu tak lain dari Wara Drupadi, putri Prabu Drupada, Raja Pancala. Drupadi dijadikan taruhan oleh suaminya, Yudhistira, dalam permainan dadu dengan Korawa. Malang, Yudhistira kalah main dadu, sehingga Drupadi jatuh ke tangan Korawa. Dursasana, salah seorang anggota Korawa, mencoba menelanjangi Drupadi. Namun, keajaiban terjadi. Kain penutup tubuh Drupadi ternyata terus memanjang, meski Dursasana berusaha menariknya tanpa henti. Sehingga tubuh Drupadi tetap terbalut kain dan kesuciannya tetap terjaga. Sedangkan Dursasana akhirnya pingsan karena kelelahan.

Atas perlakuan itu, Drupadi bersumpah tidak akan mencuci rambutnya yang sempat dijarah Dursasana, sampai Dursasana mati dalam perang Baratayudha. Ia akan menggunakan darah Dursasana untuk mandi keramas. Kelak, dalam perang Baratayudha antara Pandawa dan Kurawa, Dursasana terbunuh oleh Bima, salah seorang kstaria Pandawa.

Kisah Drupadi adalah kisah tragedi tentang kesetiaan dan dendam seorang perempuan. Drupadi, puteri seorang raja, tidak dilahirkan dari rahim seorang ibu, melainkan dari seberkas cahaya hasil puja-samadi sang raja. Karena itu, kelahirannya adalah sebuah berkah, tak heran bila kecantikannya luar biasa. Sebagai seorang isteri, ia begitu setia kepada sang suami. Namun, justru ia dipertaruhkan dalam ajang permainan judi.

Dalam kisah Mahabarata, setelah sumpahnya mandi keramas dengan darah Dursasana terwujud dan perang Baratayudha berakhir, Drupadi bersama sang suami,Yudhistira, mati muksha – hilang bersama jasadnya – menuju ke hadirat Sang Maha Pencipta.

                                                                                         Drupadi Pandawa Diva
Kisah tragik Drupadi telah mengilhami pematung keramik kenamaan, F Widayanto, menggelar pameran yang menyuguhkan sosok Drupadi dalam berbagai wujud. Pameran bertajuk “Drupadi Pandawa Diva” yang digelar di Galeri Nasional, 22-30 Agustus 2013, sekaligus merayakan 30 tahun ia berkarya. Pameran menghadirkan 30 patung Drupadi dalam berbagai pose, warna dan ukuran.

"Ukel Ambyar", patung keramik F Widayanto
Begitu masuk ruang pamer  utama di Galeri Nasional kita akan disambut dengan sosok Drupadi yang dipasang di bawah cahaya terang. Kulitnya putih – tidak kehitaman seperti dikisahkan dalam pewayangan – dengan wajah menengadah dikelilingi kelopak bunga melati yang bergelantungan. Patung setinggi sekitar satu setengah meter itu diberi judul “Drupadi Agni” (Drupadi Api) seolah menggambarkan asal kehidupan Drupadi dari seberkas cahaya api.

Pada bagian dalam ruangan, tata cahaya dibuat temaram, membuat sosok-sosok Drupadi terperangkap dalam keremangan. Adegan paling dramatik dalam kisah Drupadi diwujudkan dalam patung “Dru Vs Dur” yang menggambarkan upaya Dursasana menelanjangi Drupadi dengan menarik kain Drupadi. Melalui karyanya ini, Widayanto berhasil melukiskan moment paling gelap dalam perjalanan hidup Drupadi. Jeritan hati dan amarah Drupadi terlihat jelas pada raut wajahnya berhadapan dengan sosok Dursasana yang dingin dan kejam.

Beberapa karya lain yang sangat kuat menggambarkan penderitaan Drupadi yaitu “Kebrugan Jagad” (Kejatuhan Dunia) dan “Bedhah Nelangsa” (Meluapkan Derita). Pada dua karya ini sosok Drupadi begitu kuyu, duduk di lantai dengan kaki berselonjor, rambut acak-acakan. Sejumlah mata dadu berserakan di sekitar tubuhnya. Kulit tubuh Drupadi juga berwarna gelap sebagaimana dalam kisah Mahabarata.

Sementara, pada sebagian besar karya lainnya F Widayanto tampak mengeksplorasi kecantikan wajah dan kemolekan tubuh Drupadi. Ini terlihat antara lain pada “Pandawa Diva”, “Ukel Ambyar”, Ngore Ngecucung”.

                                                                                              Eksplorasi Tradisi
Fransiscus Widayanto yang lahir di Jakarta, 23 Januari 1953, adalah lulusan Seni Rupa ITB. Mulai karirnya sebagai seniman keramik pada tahun 1983 dengan mendirikan studio keramik Maryans Clay Work. Ia dikenal sebagai seniman keramik yang suka mengeksplorasi tradisi dalam karya-karyanya. Beberapa karya patungnya yang cukup dikenal yaitu Loro Blonyo (1990), Golekan (1997), Dewi Sri (2003) dan Fantastic lady (2005).

Karya-karyanya diminati oleh para kolektor tidak hanya dari dalam negeri, namun juga dari luar negeri antara lain  Raja Yordania dan butik terkenal dari Prancis, Hermes.

Tuesday, August 27, 2013

Romantisme Perjuangan Dalam Lukisan Augustin Sibarani

Oleh Winarto

"Laskar Bambu Runcing", lukisan Augustin
Sibarani
LEBIH dikenal sebagai karikaturis yang sangat tajam menyampaikan kritik sosial, Augustin Sibarani ternyata juga mampu menuangkan gagasan dan imajinya secara ekspresif dalam lukisan cat minyak  di atas kanvas. Selama satu minggu, 22-29 Agustus 2013, 40 karya lukisnya dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta. Pameran bertajuk “Lukisan Augustin Sibarani 1973-2013” ini sangat pas dihadirkan saat ini ketika masyarakat Indonesia baru saja memperingati hari kemerdekaan negerinya. Juga, di tengah karut marut perpolitikan di tanah air, karya-karya Sibarani bisa menjadi sarana untuk berkaca bagi kita sebagai suatu bangsa.
Dalam sebagian besar karyanya yang dipamerkan di sini, Sibarani ingin mengungkapkan bahwa kemerdekaan yang kita nikmati saat ini adalah hasil perjuangan panjang dan sarat pengorbanan. Sehingga, tidaklah etis apabila buah pengorbanan luar biasa besar itu hanya dijadikan mainan elite-elite politik untuk kepentingan mereka sendiri. Lewat karya-karyanya, Sibarani hendak mengingatkan bahwa masih banyak problem sosial yang menuntut perhatian para pemimpin negeri ini.
                                                                             Romantisme Masa Perjuangan
Dari 40 lukisannya yang dipajang di dua ruang pamer Bentara Budaya Jakarta sekitar 15 diantaranya menggambarkan suasana perjuangan merebut kemerdekaan RI. Sibarani yang pernah ikut berjuang dengan mengangkat senjata ini berhasil merekam romantisme masa perjuangan dan melukiskan secara ekspresif dengan goresan kuasnya di atas kanvas.
Lihat misalnya, lukisannya “Laskar Bambu Runcing” yang menggambarkan seorang lelaki pejuang. Tubuhnya tampak kekar, tangan kanannya memegang kuat senjata bambu runcing, sementara tangan kirinya terbalut perban dengan bercak darah. Di dada kirinya tertempel pin bendera merah putih. Tatapan matanya sangat tajam memandang ke depan. Lukisan ini mampu menghadirkan karakter sosok pejuang kemerdekaan yang dengan senjata tradisional tanpa rasa takut melawan penjajah.
Romantisme masa perjuangan dilukiskan dalam beberapa karyanya antara lain “Markas Gerilya” yang menggambarkan para anggota laskar Indonesia di markas mereka di tengah hutan. Beberapa orang tampak sedang menyalakan tungku untuk memasak, beberapa laskar perempuan merawat anggota laskar yang terluka, sedangkan yang lainnya berjaga memegang senjata, dan seseorang memegang gitar. Suasana yang mirip juga terdapat pada lukisan “Mengelilingi Api Unggun” dan “Istirahat Bakar Jagung”.
"Mengelilingi Api Unggun", lukisan Augustin Sibarani
Keakraban antara para pejuang dengan warga sipil dilukiskan dalam karyanya “Memberi Makan Prajurit” dan “Terluka di Saat Gerilya/Wanita Penolong”. Pada “Memberi Makan Prajurit” digambarkan seorang tentara yang tengah menikmati makanan yang diberikan dua orang penduduk desa. Sedangkan karyanya “Terluka di Saat Gerilya” memperlihatkan dua orang perempuan tengah menolong seorang pejuang yang terluka.
Sibarani memberi perhatian cukup besar pada peran perempuan dalam masa perjuangan. Pada beberapa lukisannya tentang para pejuang ia menunjukkan keberadaan para wanita baik sebagai perawat, juru masak, dan bahkan juga sebagai anggota laskar yang ikut mengangkat senjata. Hal ini misalnya terlihat pada lukisannya “Laskar Wanita Membidik Tank”.
                                                                                                     Kritik Sosial
            Sebagai seorang karikaturis, Augustin Sibarani sangat disegani oleh penguasa karena kritik-kritik sosialnya yang tajam dalam gambar-gambar karikaturnya. Berbeda dari masa Presiden Soekarno, Sibarani sangat disanjung dan dikatakan sendiri oleh Bung Karno sebagai karikatur hebat yang pernah dimiliki Indonesia, di masa Presiden Soeharto Sibarani diberangus, karya-karya karikaturnya tidak bisa diterbitkan di media umum. Karena pembatasan-pembatasan yang diterimanya, Sibarani mulai mengeksplor kemampuannya dalam seni lukis yang oleh penguasa dinilai tidak terlalu berbahaya dibanding karikatur. Tapi, selama Orde Baru ia tetap saja tidak boleh memamerkan hasil karya lukisnya. Hal itu karena penilaian pemerintah Orde Baru yang menganggap pelukis kelahiran Pematang Siantar terlalu dekat dengan kelompok ideologi kiri.
            Jejak karikatural dengan muatan kritik sosial dan humor memang tampak pada sebagian lukisan Sibarani. Diantaranya ikut dipajang dalam pameran kali ini yaitu “Lahir Di Bawah Kolong”, “Penyanyi Di Luar Pagar” “Pengamen Berulos”,  dan “Catur Tidak Seimbang”.
           
"Pengamen Berulos", lukisan Augustin
Sibarani
“Lahir Di Bawah Kolong” menggambarkan sebuah keluarga gelandangan dengan seorang bayi yang baru saja dilahirkan di sebuah kolong jembatan. Sedangkan “Penyanyi di Luar Pagar” melukiskan sekelompok pengamen yang bernyanyi di depan sebuah rumah yang berpagar kawat berduri  dan sebuah tanda bergambar kepala anjing – tanda yang biasa dipasang di pagar rumah-rumah mewah untuk menunjukkan bahwa ada anjing galak di rumah itu, guna menakut-nakuti pengamen dan peminta-minta. “Pengamen Berulos” juga mengambarkan sekelompok pengamen, satu diantaranya adalah seorang bocah yang bertugas memegang topi untuk menerima koin uang dari warga. Lukisan-lukisan ini menunjukkan kepedulian Sibarani kepada kelompok warga strata bawah dan yang terabaikan oleh kekuasaan.
            Lukisannya “Catur Tidak Seimbang” menunjukkan permainan catur antara seorang bocah melawan seorang lelaki dewasa. Si bocah digambarkan begitu sedih melihat papan catur, sementara si lelaki dewasa digambarkan begitu santai menikmati permainan sambil menenggak minuman dan sebatang rokok di tangannya. Tubuh lelaki itu kelihatan begitu kekar, besar, mengenakan dasi dan jaket rangkap.  Sementara si bocah terlihat begitu kecil dan rendah di hadapan sang raksasa. Di sekitar mereka terdapat beberapa orang menonton permainan catur mereka, beberapa diantaranya mentertawakan si bocah malang. Lukisan ini bisa ditafsirkan sebagai gambaran tentang banyaknya ketimpangan sosial dan ketidak-adilan politik di tanah air.
                                                                                           Lukisan Sisingamangaraja
           
"Sisingamangaraja XII", lukisan
Augustin Sibarani
Karya Sibarani yang sangat fenomenal adalah lukisannya yang berjudul “Sisingamangaraja XII”. Lukisan yang juga dipamerkan ini memiliki sejarah unik dan menarik. Awalnya ketika masyarakat Batak memimpikan seorang pahlawan sebagaimana rakyat Aceh memiliki Tjut Nya Dien dan Teuku Umar, masyarakat di Jawa dengan Pangeran Diponegoro, atau warga Maluku dengan Patimura-nya. Merekapun mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar mengangkat Sisingamangaraja XII sebagai pahlawan nasional.
            Sibarani yang mendapat kepercayaan melukis Sisingamangaraja tak menemukan dokumen apapun yang menunjukkan wajah tokoh yang hidup pada akhir abad ke 19 itu. Maka iapun mereka-reka wajah Sisingamangaraja berdasar keterangan dari ketuturunan Sisingamangaraja dan mereka yang mengenal sosok pahlawan itu. Wajah Sisingamangaraja akhirnya berhasil ia bangun dan lukiskan dalam kanvas. Lukisan itu kemudian dipasang di Istana Presiden dan dijadikan gambar pada uang kertas pecahan seribu rupiah. Sibarani sempat menggugat Bank Indonesia karena penggunaan lukisannya itu tanpa meminta ijinnya.
            Bisa dikatakan, Sibarani adalah ‘penemu’ wajah Sisingamangaraja. Lukisannya itu akan menjadi peninggalan paling berharga dan abadi darinya. Augustin Sibarani lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, pada 25 Agustus 1925. Kini ia tinggal di kawasan Cinere, Jakarta Selatan, bersama salah seorang puteranya.


Sunday, May 12, 2013

Meta Amuk, Seni Sebagai Kritik Sosial

Oleh Winarto

"Space", video instalasi, karya Wahyu Utami
Sosok perempuan dengan pakaian tradisional Jawa itu muncul dari dasar kolam, badannya telentang di permukaan air, lalu melakukan beberapa gerakan salto dan kembali hilang di kedalaman. Tak berapa lama, ia kembali muncul ke permukaan, melakukan gerakan yang sama dan kembali hilang. Menyaksikan tayangan video ini selama beberapa menit, nafas kita akan tertahan karena ikut merasakan penderitaan sosok perempuan tersebut, yang terus melakukan gerakan yang sama berulang-ulang keluar masuk ke dalam air  tanpa kesudahan.

Video instalasi berjudul “Space” karya Wahyu Utami dengan cerdas berhasil menggambarkan ruang gerak perempuan tradisional yang sangat terbatas dalam kehidupan sosial. Mereka hanya bergerak dalam kehidupan yang rutin, monoton, tanpa jeda dan variasi, terpagari berbagai keterbatasan: tradisi, budaya, ekonomi dan politik.

Tayangan video ini amat menarik, bukan hanya kontennya, tapi juga penyajiannya secara keseluruhan. Layar monitor dengan luas 1,5 x 2 meter ditaruh di lantai, menghadap ke atas, dibatasi dinding  sekeliling setinggi sekitar 20 sentimeter, sehingga menyerupai bangunan kolam renang. Ketika menonton video ini, kita seperti berada di sisi kolam renang dan menyaksikan langsung sosok perempuan berenang. Di tengah keheningan suasana ruang pameran, suara air kolam dalam tayangan video terdengar sangat rismis dan menyimpan misteri.

“Space” adalah salah satu dari 115 karya lukisan, patung dan instalasi yang disuguhkan dalam Pameran Senirupa Nusantara 2013 di Galeri Nasional, 8-24 Mei 2013. Karya-karya yang dipajang di tiga ruang pamer Galeri Nasional ini adalah hasil seleksi ketat dari karya para seniman di 25 propinsi di tanah air.

Dua orang kurator pameran Kuss Indarto dan Asikin Hassan menyodorkan tema “Meta Amuk” yang berupaya menghadirkan karya senirupa dalam relasinya dengan kondisi sosial masyarakat.

“Senirupa selain sebagai ekspresi pribadi juga berperan dalam menggagas perkara sosial kemasyarakatan dalam cakupan lebih luas. Pameran ini berhasrat menggali ide-ide para seniman dalam menanggapi persoalan dunia dan tradisi kritik sosial yang melekat dalam budaya di Nusantara,” ungkap Kuss Indarto dalam catatan kuratorialnya.

                                                                                       Masalah Gender dan Ketertinggalan

"Beauty Ailing", lukisan Ugy Sugiharto
Dari sekian banyak karya, “Space” cukup kuat menjawab tantangan yang disodorkan kurator terkait tema pameran. Wahyu Utami menafsirkan “amuk” dalam konteks masalah gender. Problem perempuan yang dalam budaya tradisional masih terbelenggu berbagai keterbatasan.

Senada dengan Wahyu Utami, Ugy Sugiharto juga mengangkat masalah keperempuanan. Melalui lukisannya, “Beauty Ailing” Ugy menghadirkan sosok perempuan muda, cantik, namun telanjang dan hanya diam terperangkap dalam belitan lumpur. 

Sementara, Achmad Sobirin berbicara tentang keterbatasan dan ketertinggalan. Melalui karyanya “Merebut Seruling Tetangga” Sobirin menggambarkan dua orang penduduk desa di tengah hutan dan seorang bocah sedang berselisih berebut seruling. Lukisan ini mengingatkan kita pada masyarakat pedesaan umumnya dan suku-suku asli yang tertinggal atau ditinggalkan oleh mesin pembangunan negara.

                                                                                       Politik dan Korupsi
"Merebut Seruling Tetangga", lukisan Achmad Sobirin
Masalah lain yang banyak digugat para perupa dalam pameran ini yaitu menyangkut hiruk pikuk di dunia politik, korupsi dan kekerasan yang masih sering terjadi di tanah air. Beberapa karya tentang hal ini cukup menarik dengan menampilkan unsur-unsur simbolik. Antara lain karya Gigin Ginanjar, “Bocor” yang melukiskan selembar baju perempuan (tank top) yang berlumur darah dan tertancapi belasan benda-benda tajam. Juga, lukisan “Selalu Ada Api” karya Hasan yang mengingatkan kita akan  ancaman kekerasan dan konflik yang terus menghantui kita selama ini.

Hiruk pikuk di dunia politik tergambarkan melalui karya Sugihartono, “Album Reformasi”. Karyanya menggunakan media pena di atas kertas sebanyak 46 lembar dan dipajang dalam panel seluas 200 x 244 cm, berupa sketsa dan coretan-coretan yang merekam berbagai aksi-aksi unjuk rasa dan kekerasan dalam masa perjuangan Reformasi.

Sementara, beberapa karya tentang korupsi mengambil simbol-simbol yang sangat klasik: babi sebagai binatang yang dianggap rakus dan tikus binatang pengerat yang  disimbolkan sebagai para elite politik yang korup.

Secara keseluruhan Pameran “Meta Amuk” berhasil menyampaikan satu pesan kunci: bahwa seni bukan semata-mata untuk seni. Ada tugas dan fungsi lain, yaitu seni sebagai kritik sosial.


Sunday, April 7, 2013

Menikmati Lukisan Huang Fong tentang Bali

Oleh Winarto


Lukisan Huang Fong, "Dua Dara di Sawah".

Melihat lukisan-lukisan Huang Fong kita akan terbawa dalam suasana kehidupan Bali yang teduh, tenang, dan damai. Pelukis kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur ini, pada bulan April tahun ini berusia 77 tahun dan telah menekuni seni lukis selama sekitar limapuluh tahun. Selama kurun waktu itu tema lukisan-lukisannya tidak berubah yakni menyangkut kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.

Menandai ulang tahunnya kali ini, ia menggelar pameran tunggal di Galeri Nasional dengan tajuk “Pikiran, Tubuh dan Jiwa: 77 Tahun Huang Fong”. Sebanyak 77 lukisannya dihadirkan di sini, semuanya tentang Bali.

Bali telah menjadi bagian dari hidup Huang Fong. Ia pertamakali menapakkan kaki di Bali tahun 1963 dan mulai menetap di pulau Dewata itu tahun 1967. Fong mengaku jatuh cinta pada Bali karena melihat masyarakatnya rukun, toleran dan kaya akan budaya.

Ia juga merasa beruntung bertemu seniman-seniman besar di Bali seperti OH Supono, Anton Huang, Abdul Azis, dan Tedja Suminar dan Ida Bagus Made Poleng. Ia juga cukup dekat dengan Affandi dan Hendra Gunawan.

“Saya belajar dari mereka tentang sikap yang fokus,” tuturnya pada kritikus seni lukis Agus Dermawan.

Bali dalam lukisan-lukisan Huang Fong adalah Bali yang bersajahaja, yang teduh, tenang dan damai. Bali yang jauh dari hiruk pikuk modernitas dan berbagai problem sosial, ekonomi dan politik. Agus Dermawan dengan terus terang mengatakan lukisan-lukisan Huang Fong membawa spirit Mooi Indie yang menggambarkan Hindia Belanda yang serba cantik dan menawan.

Dalam pameran kali ini kita saksikan lukisan-lukisan Fong dengan objek cukup beragam namun semuanya tentang Bali. Kebanyakan berupa lukisan potret perempuan dalam berbagai pose dengan pakaian tradisional Bali dan telanjang dada – kebiasaan yang saat ini sudah sangat jarang ditemui di Bali.

Lukisan Huang Fong, "Dua Gadis Metik Bunga Tanjung"
Lainnya berupa gambar aktivitas masyarakat – kebanyakan juga aktivitas perempuan – seperti berjualan dan berbelanja di pasar, menggembala ternak dan panen padi di sawah, berdagang ikan pantai dan bersembahyang pura. Beberapa lukisannya yang menggambarkan aktivitas laki-laki antara lain tari Barong dan tari Kecak. Ia juga  membuat beberapa lukisan potret pelukis tradisonal Bali yang cukup terkenal, Ida Bagus Made Poleng. Agaknya Huang Fong cukup dekat dengan Made Poleng.

                                                                                                            Cat Air di Kanvas

Selain tema lukisannya tentang Bali, yang tidak berubah pada lukisan-lukisan Huang Fong yaitu penggunaan medium cat air di atas kanvas. Penggunaan medium cat air di atas kanvas ini bisa dikatakan meruypakan ciri khas Huang Fong. Kecintaannya pada cat air dipengartuhi latar belakang kehidupannya saat ia bekerja di sebuah studio foto. Tugasnya waktu itu adalah mewarnai foto-foto hitam putih.

“Saat itu belum ada foto warna. Semuanya hitam putih. Di sini saya belajar mengenai bayangan, tekstur kulit manusia dan karakter benda-benda. Kenangan hitam-putih itu terus menempel dalam persepsi, sehingga mempengaruhi warna-warna monokromatiik lukisan saya dalam sebuah periode panjang. Hal itu juga menyebabkan saya cinta kepada cat air,” ungkapnya.

Lukisan cat air biasanya berjodoh dengan kertas. Namun Huang Fong berhasil mempertemukan cat air dengan kanvas. “Saya bekerja keras dengan teknik dan material ini,” jelas Fong. Hasil ketekunanya pun berbuah. Lukisan-lukisannya dengan media cat air di atas kanvas diakui banyak pengamat sangat berhasil dan tak beda dari lukisan cat air di atas kertas.

            Huang Fong lahir di Banyuwangi, Jawa Timur, pada 14 April 1936. Belajar melukis dari sejumlah seniman, tanpa melalui pendidikan formal seni lukis. Selama karirnya ia telah menggelar pameran puluhan kali di dalam dan luar negeri. Pameran di Galeri Nasional Jakarta berlangsung dari tanggal 1-7 April 2013.

Thursday, March 21, 2013

Pameran Lukisan Aris Budiono



Perang Suci Seni Melawan Korupsi

Oleh Winarto

 

"Hanoman Samurai" lukisan karya Aris Budiono
ARIS Budiono Sadjad  benar-benar murka. Pelukis kelahiran Brebes, Jawa Tengah, 1960 ini marah luar biasa menyaksikan membuncahnya kasus-kasus korupsi di tanah air. Perilaku korup di negeri  ini sudah mirip sel kanker yang merayapi hampir seluruh bagian tubuh bangsa ini. Karena itu perlawanan terhadap korupsi haruslah total untuk bisa mengangkat hingga akar sel-sel yang mematikan itu. Perang melawan korupsi tak lain dari tindakan jihad: sebuah perang suci!

Pemikiran seperti itulah yang tampaknya mendasari perupa lulusan Sekolah Tinggi Senirupa Jogjakarta ini yang  menggelar pameran tunggalnya dengan judul “Perang Suci Melawan Korupsi”.  Pameran berlangsung  di Bentara Budaya Jakarta tanggal 14-23 Maret 2013.
                  
Sekitar duapuluh buah lukisannya menunjukkan amarah Aris yang meluap-luap terhadap korupsi. Ia menggambarkan para koruptor dengan metafor berupa babi yang kita kenal sebagai binatang rakus dan kotor.

Babi Versus Ksatria

"Bima Banting" lukisan karya Aris Budiono
Ia menggambarkan babi dalam wujudnya yang utuh sebagai binatang maupun dalam sosok-sosok bertubuh manusia dengan kepala babi. Ia juga mengambil  tokoh-tokoh dari dunia pewayangan untuk melakukan aksi perang suci melawan korupsi. Jadinya, sangat menarik: para ksatria dunia pewayangan seperti Bima dan Hanoman bertempur melawan sosok-sosok tambun berwujud babi atau manusia berwajah babi.

Lukisannya yang berjudul “Hanoman  Storm Fury” misalnya, menggambarkan bagaimana ksatria berwujud seekor kera putih itu menghajar beberapa ekor babi dengan pukulan halilintarnya yang maha dahsyat. Terasa sekali, betapa sang pelukis ingin menunjukkan kegeraman tak tertahan terhadap para koruptor. Sedangkan lukisannya “Hanoman Samurai” menggambarkan Hanoman mencabik perut seekor babi dengan sebilah samurai.

Hanoman yang dalam pewayangan merupakan pahlawan besar yang mampu mengalahkan raksasa berkepala sepuluh (Dasamuka) dalam lukisan-lukisan Aris benar-benar didudukkan sebagai sang eksekutor terhadap perilaku korup. Lukisannya yang lain berjudul “Hanoman Punishment menunjukkan sosok Hanoman memegang senjata laras panjang siap mengeksekusi sosok-sosok berwajah raksasa simbol angkara murka.

Selain Hanoman, Aris menampilkan kstaria Pandawa yaitu Bima yang juga dilukiskan sebagai sang esksekutor. Dalam karyanya “Bima Banting” digambarkan Bima membanting seekor babi. Dari mulut babi yang terjungkal keluar berbagai barang yang sebelumnya ditelannya seperti mobil, motor,  kapal dan property. Nafsu serakah dan rakus sang babi yang menelan apa saja juga dia gambarkan dalam karyanya “Omnivora”.  

Aris benar-benar sedang mengamuk. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa amarahnya terhadap korupsi. Namun sikap amuknya itu sekaligus juga menunjukkan kegelisahan dan sedikit putus asa. Hal itu tergambar antara lain dalam karyanya “Super Sakti” yang melukiskan sosok manusia bertampang babi duduk sambil berkacak pinggang mengendari seekor babi. Ia tanpa rasa takut menghadapi serbuan anak panah dari para ksatria. Lukisan ini mengingatkan kita pada sejumlah kasus korupsi besar yang tidak pernah berhasil diungkap tuntas oleh lembaga-lembaga penegak hukum termasuk KPK.

"Empat Cakil Rakyat" lukisan karya Aris Budiono
Beberapa lukisan lainnya bernada satir. Lihat misalnya  karyanya  “Empat Cakil Rakyat” yang memperlihatkan empat sosok berwajah raksasa yang dalam pewayangan disebut “Buto Cakil” mengendarai empat ekor babi. Di latar belakang tampak bangunan gedung-gedung tinggi. Judul lukisan ini yang menggunakan kata “Cakil Rakyat” mendorong kita mengingat kata yang mirip yaitu “Wakil Rakyat”. Agaknya Aris Budiono memang sengaja ingin menyindir para wakil rakyat yang sebagian anggotanya berperilaku seperti “Buto Cakil” yang haus kekuasaan dan harta.

Seni sebagai kritik sosial

Sebagai media hiburan, seni sekaligus juga bisa menjadi sarana kritik sosial, bahkan medan perjuangan melawan  kekuasaaan yang menindas atau korup. Sejarah seni di tanah air menunjukkan keterlibatan intens para seniman di berbagai bidang dalam perjuangan melawan politik korup. Di bidang sastra kita memiliki Rendra yang dengan puisi-puisinya serta pentas teaternya sempat membuat keder rezim otoritarian Orde Baru. Juga kita kenal beberapa kelompok teater lain seperti Gandrik, Gapit dan Koma yang tanpa lelah mengusung tema-tema perlawanan terhadap kekuasaan. Di bidang musik kita dapati sosok Iwan Fals dengan lirik-lirik lagunya yang sarat kritik sosial.

Seni lukis pun potensial untuk menjadi medium kritik sosial dan politik. Peran inilah yang secara sadar dilakoni oleh Aris Budiono.

Tindakan korupsi yang kini merajalela di tanah air sudah mengancam eksistensi bangsa, mempengaruhi hidup matinya negeri ini. Perlawanan terhadap korupsi karenanya juga merupakan perlawanan hidup atau mati. Perlawanan yang perlu melibatkan banyak pihak melalui berbagai sarana dan media, tak terkecuali media seni termasuk seni lukis.





Monday, March 4, 2013

Menikmati Lukisan Kontemporer China



Oleh Winarto


Yesterday's Me, Tomorrow's You, karya Chen Ke
Lukisan berukuran 6 x 2 meter itu langsung menarik perhatian saya dan juga pengunjung lain begitu saya masuk ruang pameran di gedung A Galeri Nasional Jakarta. Bukan hanya ukurannya yang sangat besar yang membuat lukisan ini tampak menonjol di antara puluhan lukisan lain yang terpajang dalam pameran bertajuk “Mirror and Shadow: Contemporary Art from China” ini. Gambaran yang terpampang dalam lukisan tersebut juga sangat memikat.

Lukisan berjudul “Yesterday’s Me, Tommorow’s You” ini karya Chen Ke, pelukis kontemporer China yang tengah menanjak namanya di dunia internasional. Bidang kanvas lukisan ini terbagi menjadi tiga.

Detil "Yesterday's Me, Tomorrow's You", karya Chen Ke
Pada bagian pertama, sebelah kiri, digambarkan seorang gadis kecil yang tengah menulis di sebuah meja kayu sederhana. Di depannya sebuah lampu duduk memancarkan cahaya lembut ke arah buku yang sedang ditulisi si gadis. Di latar belakang digambarkan dinding  yang mulai mengelupas catnya di beberapa tempat. Bayangan gadis mungil itu tampak melekat pada dinding tua itu.

Pada bagian kiri atas dinding terlihat sebuah kalender menutupi kabel yang terhubung ke saklar listrik. Juga terlihat sebuah jam dinding dan rak buku dengan beberapa buah buku, foto, dan boneka tertata rapi.

Pada bagian kedua, di tengah kanvas, dilukiskan sebuah jendela kayu yang terbuka sebagian dan kain tirai yang tersibak angin. Di bawahnya ada sebuah almari dan meja, sebuah televisi kuno dan beberapa hiasan dinding.

Pada bagian ketiga kanvas, di sisi kanan, tampak si gadis kecil tertidur di dipan kayu dengan selimut tebal. Pada dinding terlihat sebuah baju hangat, beberapa gambar dan foto yang sudah rusak.

Lukisan Chen Ke ini bukan hanya sangat realistik namun juga puitis. Melalui lukisannya ini Chen Ke tampaknya ingin mengenang masa kecilnya yang sepi dalam sebuah keluarga sederhana. Tema kesepian memang mewarnai banyak lukisan artis lulusan Akademi Senirupa Sinchuan ini. Chen Ke lahir tahun 1978 di wilayah Tongjiang, China, di bawah tatanan sosial keluarga dengan hanya satu anak. Rasa sepi biasa dialami anak-anak dalam keluarga-keluarga dengan anak tunggal dan keterbatasan kondisi sosial ekonomi.
         
"Luminescence No 4", patung, karya Jin Nv
Lukisan lain Chen Ke dalam pameran ini berjudul “A Book”, yang menggambarkan secara komikus proses sebatang pohon menjadi kertas koran, majalah ataupun buku. Diawali dengan penebangan batang pohon, yang kemudian dibawa ke pabrik untuk diolah menjadi kertas, dicetak menjadi koran dan buku, dan didistribusikan ke toko-toko buku. Sebuah gambaran sederhana dengan pesan cukup dalam yaitu gunakan secukupnya kertas karena dalam setiap lembar kertas ada unsur kematian sebatang pohon.
         
Selain Chen Ke, ikut dalam pameran ini enambelas orang artis ternama lain dari China terdiri dari pelukis dan pematung seperti Bu Hua, Chen Yujun, Xu Maomao, dan Jin Nv.
         
Xu Maomao dengan dua lukisannya menghadirkan tema mistis. Lukisannya “Without Any Anxiety” menggambarkan beberapa sosok mahluk berkepala binatang memandang seraut muka manusia yang dipegang salah satu dari mereka. Sementara beberapa raut muka manusia terserak di beberapa tempat. Lukisannya yang lain “The River of Evil” juga menhadirkan sosok-sosok mahluk aneh dengan lidah panjang menjulur tengah berkeliaran di sungai. Lukisan Maomao mengingatkan kita pada kisah-kisah mistis tradisional yang banyak kita temukan dalam kehidupan masyarakat di Asia, tak terkecuali China.
Karya cukup menarik disuguhkan pematung Jin Nv. Sebuah patung mungilnya berukuran 53x80x40 cm berjudul “Luminescence No 4”  menggambarkan seorang gadis  terbaring di tempat tidur berselimut tebal. Ekspresi wajahnya menampakkan kegelisahan, ketakutan dan kepedihan. Lahir di Qinhuangdao, Hebei, China, tahun 1984, Jin Nv dikenal dengan karya-karya patungnya yang sederhana namun ekspresif. Karya-karya Jin Nv banyak diilhami kisah-kisah dunia peri yang sangat digemarinya. Dunia dongeng tentang peri dan putri-putri kerajaan dengan berbagai pengalaman emosional dalam percintaan dan meraih impian.
Pameran “Mirror and Shadow: Contemporary Art from China”  berlangsung selama tanggal 20 Februari – 11 Maret 2013.


 

Tuesday, February 26, 2013

Pameran “A Glimpse into Pakistani Arts Works”



Merenungi Rasa Kemanusiaan Jimmy Engineer


Oleh Winarto




"Gulf War", lukisan karya Jimmy Engineer
Wajah perempuan tua berkerudung itu tampak begitu berduka. Di latar belakang dan depan terlihat bayangan hitam sejumlah serdadu dan peralatan perang. Di sudut kiri bawah terpampang wajah seorang bocah dengan ikat kepala berupa kawat berduri. Sedangkan persis di bawah sosok wajah perempuan itu tampak seorang lelaki tengah khusuk bersembahyang.

Lukisan berjudul “Gulf War” karya Jimmy Engineer itu sangat mengiris hati. Sebuah gambaran pedih tentang perang. Lukisan Jimmy Engineer ini adalah salah satu dari puluhan lukisan karya sejumlah pelukis Pakistan yang dipamerkan di Galeri Nasional Jakarta dari tanggal 14-28 Februari 2013. Selain karya Jimmy Engineer, pameran bertajuk “A Glimpse Into Pakistani Art Works” memajang karya pelukis kenamaan Pakistan lain seperti Ghulam Rasul, Ayesha Khan, Sanaullah dan Fauzia Mazhar Sana.

                                                                                                                Jimmy Engineer

Lukisan karya Jimmy Engineer
Jimmy Engineer (kelahiran 1954) merupakan pelukis Pakistan yang dikenal di dunia internasional karena karya-karyanya yang sangat kental berbicara tentang masalah-masalah kemanusiaan, seperti kondisi masyarakat miskin, para korban perang, para penyandang cacat. Jimmy sendiri seorang aktivis yang banyak memberikan bantuan kepada masyarakat yang terpinggirkan secara sosial dan politik dan memperjuangkan hak-hak bagi kehidupan yang lebih baik. Sepanjang karirnya sebagai pelukis sekitar tigapuluh tahun ia telah menghasilkan lebih dari tigaribu lukisan yang sebagian dikoleksi oleh para kolektor di sekitar 50 negara.

Pada pameran di Galeri Nasional Jakarta ia mengusung sekitar duapuluhan karyanya, termasuk karyanya yang monumental berjudul “In Honour of The Men, Women and Children Who Laid Their Lives in The Struggle of 1947”.  Lukisan ini menggambarkan berbagai adegan secara detil kondisi masyarakat pada masa perang memperjuangkan kemerdekaan Pakistan pada akhir tahun 1940an. Melalui lukisannya ini Engineer tampaknya ingin mengajak masyarakat Pakistan untuk menghargai pengorbanan para pendahulu mereka dalam masa perang dan mengajak mereka untuk berbuat yang terbaik bagi negerinya. Bagi kita masyarakat di luar Pakistan, lukisan ini mengajak kita untuk merenungi betapa besarnya biaya sosial dan manusiawi peperangan.

Selain tema-tema sosial kemanusiaan, ia melukis pemandangan, religiusitas, kaligrafi, potret diri, arsitektur dan abstrak.
                                                                                                Ayesha Khan
"Step to Heaven" karya Ayesha Khan
Pelukis Pakistan lain yang cukup dikenal dunia internasional yaitu Ayesha Khan. Selama sepuluh tahun terakhir  ini Ayesha Khan tinggal di Bali dan mengaku jatuh cinta pada pulau dewata itu. Karya-karyanya banyak menggambarkan suasana kehidupan masyarakat sehari-hari.

Salah satu karyanya yang menarik dalam pameran kali ini adalah “Step to Heaven”  yang menggambarkan beberapa warga di depan sebuah puri peninggalan kerajaan Majapahit di Karangasem, Bali.

Dengan menonjolkan bangunan puri yang menjulang tinggi, sosok beberapa warga yang tampak kecil di bawah bangunan, dengan dominasi warna coklat tipis keputihan, lukisan ini menghadirkan suasana religius. Lukisan ini senada dengan karyanya yang lain “Gateway to Nirvana” yang melukiskan seorang pendeta Budha tengah menapaki tangga bangunan candi tempat bersembahyang di Myanmar. Agaknya, Ayesha Kan mempunyai perhatian besar pada kehidupan religius di beberapa negara.

English version: A Glimpse Into Pakistan Arts Works