Oleh Winarto
"Space", video instalasi, karya Wahyu Utami |
Sosok perempuan dengan pakaian tradisional Jawa
itu muncul dari dasar kolam, badannya telentang di permukaan air, lalu
melakukan beberapa gerakan salto dan kembali hilang di kedalaman. Tak berapa
lama, ia kembali muncul ke permukaan, melakukan gerakan yang sama dan kembali
hilang. Menyaksikan tayangan video ini selama beberapa menit, nafas kita akan
tertahan karena ikut merasakan penderitaan sosok perempuan tersebut, yang terus
melakukan gerakan yang sama berulang-ulang keluar masuk ke dalam air tanpa kesudahan.
Video instalasi berjudul “Space” karya Wahyu Utami
dengan cerdas berhasil menggambarkan ruang gerak perempuan tradisional yang
sangat terbatas dalam kehidupan sosial. Mereka hanya bergerak dalam kehidupan
yang rutin, monoton, tanpa jeda dan variasi, terpagari berbagai keterbatasan:
tradisi, budaya, ekonomi dan politik.
Tayangan video ini amat menarik, bukan hanya
kontennya, tapi juga penyajiannya secara keseluruhan. Layar monitor dengan luas
1,5 x 2 meter ditaruh di lantai, menghadap ke atas, dibatasi dinding sekeliling setinggi sekitar 20 sentimeter,
sehingga menyerupai bangunan kolam renang. Ketika menonton video ini, kita
seperti berada di sisi kolam renang dan menyaksikan langsung sosok perempuan
berenang. Di tengah keheningan suasana ruang pameran, suara air kolam dalam tayangan
video terdengar sangat rismis dan menyimpan misteri.
“Space” adalah salah satu dari 115 karya lukisan,
patung dan instalasi yang disuguhkan dalam Pameran Senirupa Nusantara 2013 di
Galeri Nasional, 8-24 Mei 2013. Karya-karya yang dipajang di tiga ruang pamer
Galeri Nasional ini adalah hasil seleksi ketat dari karya para seniman di 25
propinsi di tanah air.
Dua orang kurator pameran Kuss Indarto dan Asikin
Hassan menyodorkan tema “Meta Amuk” yang berupaya menghadirkan karya senirupa
dalam relasinya dengan kondisi sosial masyarakat.
“Senirupa selain sebagai ekspresi pribadi juga
berperan dalam menggagas perkara sosial kemasyarakatan dalam cakupan lebih
luas. Pameran ini berhasrat menggali ide-ide para seniman dalam menanggapi
persoalan dunia dan tradisi kritik sosial yang melekat dalam budaya di Nusantara,”
ungkap Kuss Indarto dalam catatan kuratorialnya.
Masalah
Gender dan Ketertinggalan
"Beauty Ailing", lukisan Ugy Sugiharto |
Dari sekian banyak karya, “Space” cukup kuat
menjawab tantangan yang disodorkan kurator terkait tema pameran. Wahyu Utami
menafsirkan “amuk” dalam konteks masalah gender. Problem perempuan yang dalam
budaya tradisional masih terbelenggu berbagai keterbatasan.
Senada dengan Wahyu Utami, Ugy Sugiharto juga
mengangkat masalah keperempuanan. Melalui lukisannya, “Beauty Ailing” Ugy
menghadirkan sosok perempuan muda, cantik, namun telanjang dan hanya diam
terperangkap dalam belitan lumpur.
Sementara, Achmad Sobirin berbicara tentang
keterbatasan dan ketertinggalan. Melalui karyanya “Merebut Seruling Tetangga”
Sobirin menggambarkan dua orang penduduk desa di tengah hutan dan seorang bocah
sedang berselisih berebut seruling. Lukisan ini mengingatkan kita pada
masyarakat pedesaan umumnya dan suku-suku asli yang tertinggal atau
ditinggalkan oleh mesin pembangunan negara.
Politik
dan Korupsi
"Merebut Seruling Tetangga", lukisan Achmad Sobirin |
Masalah lain yang banyak digugat para perupa dalam
pameran ini yaitu menyangkut hiruk pikuk di dunia politik, korupsi dan
kekerasan yang masih sering terjadi di tanah air. Beberapa karya tentang hal
ini cukup menarik dengan menampilkan unsur-unsur simbolik. Antara lain karya
Gigin Ginanjar, “Bocor” yang melukiskan selembar baju perempuan (tank top)
yang berlumur darah dan tertancapi belasan benda-benda tajam. Juga, lukisan
“Selalu Ada Api” karya Hasan yang mengingatkan kita akan ancaman kekerasan dan konflik yang terus
menghantui kita selama ini.
Hiruk pikuk di dunia politik tergambarkan melalui
karya Sugihartono, “Album Reformasi”. Karyanya menggunakan media pena di atas
kertas sebanyak 46 lembar dan dipajang dalam panel seluas 200 x 244 cm, berupa
sketsa dan coretan-coretan yang merekam berbagai aksi-aksi unjuk rasa dan
kekerasan dalam masa perjuangan Reformasi.
Sementara, beberapa karya tentang korupsi
mengambil simbol-simbol yang sangat klasik: babi sebagai binatang yang dianggap
rakus dan tikus binatang pengerat yang disimbolkan
sebagai para elite politik yang korup.
Secara keseluruhan Pameran “Meta Amuk” berhasil
menyampaikan satu pesan kunci: bahwa seni bukan semata-mata untuk seni. Ada
tugas dan fungsi lain, yaitu seni sebagai kritik sosial.
No comments:
Post a Comment