Tuesday, August 27, 2013

Romantisme Perjuangan Dalam Lukisan Augustin Sibarani

Oleh Winarto

"Laskar Bambu Runcing", lukisan Augustin
Sibarani
LEBIH dikenal sebagai karikaturis yang sangat tajam menyampaikan kritik sosial, Augustin Sibarani ternyata juga mampu menuangkan gagasan dan imajinya secara ekspresif dalam lukisan cat minyak  di atas kanvas. Selama satu minggu, 22-29 Agustus 2013, 40 karya lukisnya dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta. Pameran bertajuk “Lukisan Augustin Sibarani 1973-2013” ini sangat pas dihadirkan saat ini ketika masyarakat Indonesia baru saja memperingati hari kemerdekaan negerinya. Juga, di tengah karut marut perpolitikan di tanah air, karya-karya Sibarani bisa menjadi sarana untuk berkaca bagi kita sebagai suatu bangsa.
Dalam sebagian besar karyanya yang dipamerkan di sini, Sibarani ingin mengungkapkan bahwa kemerdekaan yang kita nikmati saat ini adalah hasil perjuangan panjang dan sarat pengorbanan. Sehingga, tidaklah etis apabila buah pengorbanan luar biasa besar itu hanya dijadikan mainan elite-elite politik untuk kepentingan mereka sendiri. Lewat karya-karyanya, Sibarani hendak mengingatkan bahwa masih banyak problem sosial yang menuntut perhatian para pemimpin negeri ini.
                                                                             Romantisme Masa Perjuangan
Dari 40 lukisannya yang dipajang di dua ruang pamer Bentara Budaya Jakarta sekitar 15 diantaranya menggambarkan suasana perjuangan merebut kemerdekaan RI. Sibarani yang pernah ikut berjuang dengan mengangkat senjata ini berhasil merekam romantisme masa perjuangan dan melukiskan secara ekspresif dengan goresan kuasnya di atas kanvas.
Lihat misalnya, lukisannya “Laskar Bambu Runcing” yang menggambarkan seorang lelaki pejuang. Tubuhnya tampak kekar, tangan kanannya memegang kuat senjata bambu runcing, sementara tangan kirinya terbalut perban dengan bercak darah. Di dada kirinya tertempel pin bendera merah putih. Tatapan matanya sangat tajam memandang ke depan. Lukisan ini mampu menghadirkan karakter sosok pejuang kemerdekaan yang dengan senjata tradisional tanpa rasa takut melawan penjajah.
Romantisme masa perjuangan dilukiskan dalam beberapa karyanya antara lain “Markas Gerilya” yang menggambarkan para anggota laskar Indonesia di markas mereka di tengah hutan. Beberapa orang tampak sedang menyalakan tungku untuk memasak, beberapa laskar perempuan merawat anggota laskar yang terluka, sedangkan yang lainnya berjaga memegang senjata, dan seseorang memegang gitar. Suasana yang mirip juga terdapat pada lukisan “Mengelilingi Api Unggun” dan “Istirahat Bakar Jagung”.
"Mengelilingi Api Unggun", lukisan Augustin Sibarani
Keakraban antara para pejuang dengan warga sipil dilukiskan dalam karyanya “Memberi Makan Prajurit” dan “Terluka di Saat Gerilya/Wanita Penolong”. Pada “Memberi Makan Prajurit” digambarkan seorang tentara yang tengah menikmati makanan yang diberikan dua orang penduduk desa. Sedangkan karyanya “Terluka di Saat Gerilya” memperlihatkan dua orang perempuan tengah menolong seorang pejuang yang terluka.
Sibarani memberi perhatian cukup besar pada peran perempuan dalam masa perjuangan. Pada beberapa lukisannya tentang para pejuang ia menunjukkan keberadaan para wanita baik sebagai perawat, juru masak, dan bahkan juga sebagai anggota laskar yang ikut mengangkat senjata. Hal ini misalnya terlihat pada lukisannya “Laskar Wanita Membidik Tank”.
                                                                                                     Kritik Sosial
            Sebagai seorang karikaturis, Augustin Sibarani sangat disegani oleh penguasa karena kritik-kritik sosialnya yang tajam dalam gambar-gambar karikaturnya. Berbeda dari masa Presiden Soekarno, Sibarani sangat disanjung dan dikatakan sendiri oleh Bung Karno sebagai karikatur hebat yang pernah dimiliki Indonesia, di masa Presiden Soeharto Sibarani diberangus, karya-karya karikaturnya tidak bisa diterbitkan di media umum. Karena pembatasan-pembatasan yang diterimanya, Sibarani mulai mengeksplor kemampuannya dalam seni lukis yang oleh penguasa dinilai tidak terlalu berbahaya dibanding karikatur. Tapi, selama Orde Baru ia tetap saja tidak boleh memamerkan hasil karya lukisnya. Hal itu karena penilaian pemerintah Orde Baru yang menganggap pelukis kelahiran Pematang Siantar terlalu dekat dengan kelompok ideologi kiri.
            Jejak karikatural dengan muatan kritik sosial dan humor memang tampak pada sebagian lukisan Sibarani. Diantaranya ikut dipajang dalam pameran kali ini yaitu “Lahir Di Bawah Kolong”, “Penyanyi Di Luar Pagar” “Pengamen Berulos”,  dan “Catur Tidak Seimbang”.
           
"Pengamen Berulos", lukisan Augustin
Sibarani
“Lahir Di Bawah Kolong” menggambarkan sebuah keluarga gelandangan dengan seorang bayi yang baru saja dilahirkan di sebuah kolong jembatan. Sedangkan “Penyanyi di Luar Pagar” melukiskan sekelompok pengamen yang bernyanyi di depan sebuah rumah yang berpagar kawat berduri  dan sebuah tanda bergambar kepala anjing – tanda yang biasa dipasang di pagar rumah-rumah mewah untuk menunjukkan bahwa ada anjing galak di rumah itu, guna menakut-nakuti pengamen dan peminta-minta. “Pengamen Berulos” juga mengambarkan sekelompok pengamen, satu diantaranya adalah seorang bocah yang bertugas memegang topi untuk menerima koin uang dari warga. Lukisan-lukisan ini menunjukkan kepedulian Sibarani kepada kelompok warga strata bawah dan yang terabaikan oleh kekuasaan.
            Lukisannya “Catur Tidak Seimbang” menunjukkan permainan catur antara seorang bocah melawan seorang lelaki dewasa. Si bocah digambarkan begitu sedih melihat papan catur, sementara si lelaki dewasa digambarkan begitu santai menikmati permainan sambil menenggak minuman dan sebatang rokok di tangannya. Tubuh lelaki itu kelihatan begitu kekar, besar, mengenakan dasi dan jaket rangkap.  Sementara si bocah terlihat begitu kecil dan rendah di hadapan sang raksasa. Di sekitar mereka terdapat beberapa orang menonton permainan catur mereka, beberapa diantaranya mentertawakan si bocah malang. Lukisan ini bisa ditafsirkan sebagai gambaran tentang banyaknya ketimpangan sosial dan ketidak-adilan politik di tanah air.
                                                                                           Lukisan Sisingamangaraja
           
"Sisingamangaraja XII", lukisan
Augustin Sibarani
Karya Sibarani yang sangat fenomenal adalah lukisannya yang berjudul “Sisingamangaraja XII”. Lukisan yang juga dipamerkan ini memiliki sejarah unik dan menarik. Awalnya ketika masyarakat Batak memimpikan seorang pahlawan sebagaimana rakyat Aceh memiliki Tjut Nya Dien dan Teuku Umar, masyarakat di Jawa dengan Pangeran Diponegoro, atau warga Maluku dengan Patimura-nya. Merekapun mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar mengangkat Sisingamangaraja XII sebagai pahlawan nasional.
            Sibarani yang mendapat kepercayaan melukis Sisingamangaraja tak menemukan dokumen apapun yang menunjukkan wajah tokoh yang hidup pada akhir abad ke 19 itu. Maka iapun mereka-reka wajah Sisingamangaraja berdasar keterangan dari ketuturunan Sisingamangaraja dan mereka yang mengenal sosok pahlawan itu. Wajah Sisingamangaraja akhirnya berhasil ia bangun dan lukiskan dalam kanvas. Lukisan itu kemudian dipasang di Istana Presiden dan dijadikan gambar pada uang kertas pecahan seribu rupiah. Sibarani sempat menggugat Bank Indonesia karena penggunaan lukisannya itu tanpa meminta ijinnya.
            Bisa dikatakan, Sibarani adalah ‘penemu’ wajah Sisingamangaraja. Lukisannya itu akan menjadi peninggalan paling berharga dan abadi darinya. Augustin Sibarani lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, pada 25 Agustus 1925. Kini ia tinggal di kawasan Cinere, Jakarta Selatan, bersama salah seorang puteranya.


No comments:

Post a Comment