Oleh Winarto
"Laskar Bambu Runcing", lukisan Augustin Sibarani |
LEBIH dikenal sebagai
karikaturis yang sangat tajam menyampaikan kritik sosial, Augustin Sibarani ternyata
juga mampu menuangkan gagasan dan imajinya secara ekspresif dalam lukisan cat
minyak di atas kanvas. Selama satu
minggu, 22-29 Agustus 2013, 40 karya lukisnya dipamerkan di Bentara Budaya
Jakarta. Pameran bertajuk “Lukisan Augustin Sibarani 1973-2013” ini sangat pas
dihadirkan saat ini ketika masyarakat Indonesia baru saja memperingati hari
kemerdekaan negerinya. Juga, di tengah karut marut perpolitikan di tanah air,
karya-karya Sibarani bisa menjadi sarana untuk berkaca bagi kita sebagai suatu
bangsa.
Dalam sebagian besar
karyanya yang dipamerkan di sini, Sibarani ingin mengungkapkan bahwa
kemerdekaan yang kita nikmati saat ini adalah hasil perjuangan panjang dan
sarat pengorbanan. Sehingga, tidaklah etis apabila buah pengorbanan luar biasa
besar itu hanya dijadikan mainan elite-elite politik untuk kepentingan mereka
sendiri. Lewat karya-karyanya, Sibarani hendak mengingatkan bahwa masih banyak
problem sosial yang menuntut perhatian para pemimpin negeri ini.
Romantisme Masa Perjuangan
Dari 40 lukisannya yang
dipajang di dua ruang pamer Bentara Budaya Jakarta sekitar 15 diantaranya
menggambarkan suasana perjuangan merebut kemerdekaan RI. Sibarani yang pernah
ikut berjuang dengan mengangkat senjata ini berhasil merekam romantisme masa
perjuangan dan melukiskan secara ekspresif dengan goresan kuasnya di atas
kanvas.
Lihat misalnya,
lukisannya “Laskar Bambu Runcing” yang menggambarkan seorang lelaki pejuang.
Tubuhnya tampak kekar, tangan kanannya memegang kuat senjata bambu runcing,
sementara tangan kirinya terbalut perban dengan bercak darah. Di dada kirinya
tertempel pin bendera merah putih. Tatapan matanya sangat tajam memandang ke
depan. Lukisan ini mampu menghadirkan karakter sosok pejuang kemerdekaan yang
dengan senjata tradisional tanpa rasa takut melawan penjajah.
Romantisme masa perjuangan dilukiskan dalam
beberapa karyanya antara lain “Markas Gerilya” yang menggambarkan para anggota
laskar Indonesia di markas mereka di tengah hutan. Beberapa orang tampak sedang
menyalakan tungku untuk memasak, beberapa laskar perempuan merawat anggota
laskar yang terluka, sedangkan yang lainnya berjaga memegang senjata, dan
seseorang memegang gitar. Suasana yang mirip juga terdapat pada lukisan
“Mengelilingi Api Unggun” dan “Istirahat Bakar Jagung”.
"Mengelilingi Api Unggun", lukisan Augustin Sibarani |
Keakraban antara para
pejuang dengan warga sipil dilukiskan dalam karyanya “Memberi Makan Prajurit”
dan “Terluka di Saat Gerilya/Wanita Penolong”. Pada “Memberi Makan Prajurit”
digambarkan seorang tentara yang tengah menikmati makanan yang diberikan dua
orang penduduk desa. Sedangkan karyanya “Terluka di Saat Gerilya”
memperlihatkan dua orang perempuan tengah menolong seorang pejuang yang
terluka.
Sibarani memberi
perhatian cukup besar pada peran perempuan dalam masa perjuangan. Pada beberapa
lukisannya tentang para pejuang ia menunjukkan keberadaan para wanita baik
sebagai perawat, juru masak, dan bahkan juga sebagai anggota laskar yang ikut
mengangkat senjata. Hal ini misalnya terlihat pada lukisannya “Laskar Wanita
Membidik Tank”.
Kritik Sosial
Sebagai seorang karikaturis, Augustin Sibarani
sangat disegani oleh penguasa karena kritik-kritik sosialnya yang tajam dalam
gambar-gambar karikaturnya. Berbeda dari masa Presiden Soekarno, Sibarani
sangat disanjung dan dikatakan sendiri oleh Bung Karno sebagai karikatur hebat
yang pernah dimiliki Indonesia, di masa Presiden Soeharto Sibarani diberangus,
karya-karya karikaturnya tidak bisa diterbitkan di media umum. Karena
pembatasan-pembatasan yang diterimanya, Sibarani mulai mengeksplor kemampuannya
dalam seni lukis yang oleh penguasa dinilai tidak terlalu berbahaya dibanding
karikatur. Tapi, selama Orde Baru ia tetap saja tidak boleh memamerkan hasil
karya lukisnya. Hal itu karena penilaian pemerintah Orde Baru yang menganggap
pelukis kelahiran Pematang Siantar terlalu dekat dengan kelompok ideologi kiri.
Jejak
karikatural dengan muatan kritik sosial dan humor memang tampak pada sebagian
lukisan Sibarani. Diantaranya ikut dipajang dalam pameran kali ini yaitu “Lahir
Di Bawah Kolong”, “Penyanyi Di Luar Pagar” “Pengamen Berulos”, dan “Catur Tidak Seimbang”.
"Pengamen Berulos", lukisan Augustin Sibarani |
Lukisannya
“Catur Tidak Seimbang” menunjukkan permainan catur antara seorang bocah melawan
seorang lelaki dewasa. Si bocah digambarkan begitu sedih melihat papan catur,
sementara si lelaki dewasa digambarkan begitu santai menikmati permainan sambil
menenggak minuman dan sebatang rokok di tangannya. Tubuh lelaki itu kelihatan
begitu kekar, besar, mengenakan dasi dan jaket rangkap. Sementara si bocah terlihat begitu kecil dan
rendah di hadapan sang raksasa. Di sekitar mereka terdapat beberapa orang menonton
permainan catur mereka, beberapa diantaranya mentertawakan si bocah malang.
Lukisan ini bisa ditafsirkan sebagai gambaran tentang banyaknya ketimpangan
sosial dan ketidak-adilan politik di tanah air.
Lukisan Sisingamangaraja
"Sisingamangaraja XII", lukisan Augustin Sibarani |
Sibarani
yang mendapat kepercayaan melukis Sisingamangaraja tak menemukan dokumen apapun
yang menunjukkan wajah tokoh yang hidup pada akhir abad ke 19 itu. Maka iapun
mereka-reka wajah Sisingamangaraja berdasar keterangan dari ketuturunan
Sisingamangaraja dan mereka yang mengenal sosok pahlawan itu. Wajah
Sisingamangaraja akhirnya berhasil ia bangun dan lukiskan dalam kanvas. Lukisan
itu kemudian dipasang di Istana Presiden dan dijadikan gambar pada uang kertas
pecahan seribu rupiah. Sibarani sempat menggugat Bank Indonesia karena penggunaan
lukisannya itu tanpa meminta ijinnya.
Bisa
dikatakan, Sibarani adalah ‘penemu’ wajah Sisingamangaraja. Lukisannya itu akan
menjadi peninggalan paling berharga dan abadi darinya. Augustin Sibarani lahir
di Pematang Siantar, Sumatera Utara, pada 25 Agustus 1925. Kini ia tinggal di
kawasan Cinere, Jakarta Selatan, bersama salah seorang puteranya.
No comments:
Post a Comment