Lukisan Huang Fong, "Dua Dara di Sawah". |
Melihat lukisan-lukisan Huang Fong kita akan
terbawa dalam suasana kehidupan Bali yang teduh, tenang, dan damai. Pelukis
kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur ini, pada bulan April tahun ini berusia 77 tahun
dan telah menekuni seni lukis selama sekitar limapuluh tahun. Selama kurun
waktu itu tema lukisan-lukisannya tidak berubah yakni menyangkut kehidupan
sehari-hari masyarakat Bali.
Menandai ulang tahunnya kali ini, ia menggelar
pameran tunggal di Galeri Nasional dengan tajuk “Pikiran, Tubuh dan Jiwa: 77
Tahun Huang Fong”. Sebanyak 77 lukisannya dihadirkan di sini, semuanya tentang
Bali.
Bali telah menjadi bagian dari hidup Huang Fong. Ia
pertamakali menapakkan kaki di Bali tahun 1963 dan mulai menetap di pulau
Dewata itu tahun 1967. Fong mengaku jatuh cinta pada Bali karena melihat
masyarakatnya rukun, toleran dan kaya akan budaya.
Ia juga merasa beruntung bertemu seniman-seniman
besar di Bali seperti OH Supono, Anton Huang, Abdul Azis, dan Tedja Suminar dan
Ida Bagus Made Poleng. Ia juga cukup dekat dengan Affandi dan Hendra Gunawan.
“Saya belajar dari mereka tentang sikap yang
fokus,” tuturnya pada kritikus seni lukis Agus Dermawan.
Bali dalam lukisan-lukisan Huang Fong adalah Bali
yang bersajahaja, yang teduh, tenang dan damai. Bali yang jauh dari hiruk pikuk
modernitas dan berbagai problem sosial, ekonomi dan politik. Agus Dermawan
dengan terus terang mengatakan lukisan-lukisan Huang Fong membawa spirit Mooi
Indie yang menggambarkan Hindia Belanda yang serba cantik dan menawan.
Dalam pameran kali ini kita saksikan
lukisan-lukisan Fong dengan objek cukup beragam namun semuanya tentang Bali.
Kebanyakan berupa lukisan potret perempuan dalam berbagai pose dengan pakaian
tradisional Bali dan telanjang dada – kebiasaan yang saat ini sudah sangat
jarang ditemui di Bali.
Lukisan Huang Fong, "Dua Gadis Metik Bunga Tanjung" |
Lainnya berupa gambar aktivitas masyarakat –
kebanyakan juga aktivitas perempuan – seperti berjualan dan berbelanja di
pasar, menggembala ternak dan panen padi di sawah, berdagang ikan pantai dan bersembahyang
pura. Beberapa lukisannya yang menggambarkan aktivitas laki-laki antara lain
tari Barong dan tari Kecak. Ia juga
membuat beberapa lukisan potret pelukis tradisonal Bali yang cukup
terkenal, Ida Bagus Made Poleng. Agaknya Huang Fong cukup dekat dengan Made
Poleng.
Cat Air di
Kanvas
Selain tema lukisannya tentang Bali, yang tidak
berubah pada lukisan-lukisan Huang Fong yaitu penggunaan medium cat air di atas
kanvas. Penggunaan medium cat air di atas kanvas ini bisa dikatakan meruypakan
ciri khas Huang Fong. Kecintaannya pada cat air dipengartuhi latar belakang
kehidupannya saat ia bekerja di sebuah studio foto. Tugasnya waktu itu adalah
mewarnai foto-foto hitam putih.
“Saat itu belum ada foto warna. Semuanya hitam
putih. Di sini saya belajar mengenai bayangan, tekstur kulit manusia dan
karakter benda-benda. Kenangan hitam-putih itu terus menempel dalam persepsi,
sehingga mempengaruhi warna-warna monokromatiik lukisan saya dalam sebuah
periode panjang. Hal itu juga menyebabkan saya cinta kepada cat air,”
ungkapnya.
Lukisan cat air biasanya berjodoh dengan kertas.
Namun Huang Fong berhasil mempertemukan cat air dengan kanvas. “Saya bekerja
keras dengan teknik dan material ini,” jelas Fong. Hasil ketekunanya pun
berbuah. Lukisan-lukisannya dengan media cat air di atas kanvas diakui banyak
pengamat sangat berhasil dan tak beda dari lukisan cat air di atas kertas.
Huang
Fong lahir di Banyuwangi, Jawa Timur, pada 14 April 1936. Belajar melukis dari
sejumlah seniman, tanpa melalui pendidikan formal seni lukis. Selama karirnya
ia telah menggelar pameran puluhan kali di dalam dan luar negeri. Pameran di
Galeri Nasional Jakarta berlangsung dari tanggal 1-7 April 2013.